PARADAPOS.COM - Akademisi Ali Syarief menyoroti kondisi penegakan hukum di Indonesia yang dinilai semakin menjauh dari prinsip keadilan.
Ia menilai, meski Indonesia secara konstitusional mengklaim sebagai negara hukum, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
“Hukum saat ini lebih banyak digunakan sebagai tameng kekuasaan daripada sebagai pelindung keadilan bagi rakyat,” kata dia dalam tulisannya Senin (14/7/2025).
Pernyataan Ali ini merespons fenomena mengkhawatirkan yang terjadi belakangan: sejumlah warga yang sekadar menanyakan keaslian ijazah Presiden Jokowi justru dikriminalisasi.
Ali menegaskan bahwa dalam negara demokrasi, mempertanyakan keabsahan dokumen publik adalah hak konstitusional rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Alih-alih dijawab dengan transparansi, pemerintah justru menanggapinya dengan laporan polisi, pasal pencemaran nama baik, dan ancaman penjara,” ujarnya.
Padahal, menurut Ali, isu ini bisa selesai dengan sederhana—cukup tunjukkan dokumen resmi dan biarkan publik menilai.
Tapi yang muncul malah tindakan represif terhadap warga yang bertanya.
Ali menegaskan bahwa tuntutan publik bukan bentuk kebencian atau fitnah, tapi bagian dari mekanisme kontrol dalam demokrasi.
“Kita bertanya karena peduli. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menjaga akuntabilitas,” kata dia.
Bagi Ali, justru yang berbahaya adalah ketika kekuasaan tidak lagi bisa dipertanyakan.
Saat itu terjadi, Indonesia bukan lagi negara hukum, tapi negara kekuasaan.
Menurut Ali, persoalan ijazah hanyalah satu dari sekian banyak problem serius yang menempel pada kepemimpinan Jokowi di periode keduanya.
Ia menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran hukum, antara lain:
1. Cawe-cawe politik dalam Pilpres 2024, dengan mendorong anaknya, Gibran, sebagai cawapres melalui jalur hukum kontroversial di Mahkamah Konstitusi.
2. Pemanfaatan anggaran negara untuk kepentingan elektoral, termasuk bansos yang digelontorkan menjelang pemilu.
3. Pembangunan IKN yang dipaksakan, tanpa jaminan pembiayaan berkelanjutan dan dianggap membebani APBN.
4. Praktik nepotisme, dengan penempatan kerabat dekat di posisi strategis pemerintahan.
5. Pelemahan demokrasi, termasuk represi terhadap suara-suara kritis, pengaruh pada media, dan tekanan terhadap akademisi.
“Kalau kita punya standar hukum yang adil, semua hal ini sudah cukup jadi alasan untuk investigasi serius,” kata Ali.
Dari Negara Demokrasi Menuju Otoritarianisme?
Ali melihat kecenderungan pemerintahan hari ini mengarah pada penguatan kekuasaan yang eksklusif.
Ia menyebut, penegakan hukum tak lagi berdasarkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), tapi selektif dan penuh kepentingan.
“Hukum hari ini tidak netral. Ia jadi instrumen untuk melindungi status quo,” ucapnya.
Ali juga menyebut respons keras terhadap isu ijazah Jokowi sebagai refleksi dari ketakutan penguasa terhadap pertanyaan-pertanyaan sederhana.
“Kalau tidak ada yang ditutupi, kenapa rakyat yang bertanya harus dibungkam?” tanyanya retoris.
Sumber: SeputarCibubur
Artikel Terkait
Terpojok! Jokowi Dinilai Mulai Panik Isu Ijazah Palsu dan Pemakzulan Gibran, Termasuk Cemaskan Nasib Bobby Calon Tersangka KPK?
Tak Gentar Dipolisikan, Beathor Suryadi: Saya Yakin 101 Persen Ijazah Jokowi Dibuat di Pasar Pramuka!
Sembilan Jam Digarap Diperiksa Penyidik, Nadiem: Terima Kasih Kejaksaan
BREAKING NEWS! Rismon Sianipar Laporkan Jokowi ke Polda DIY, Soal Apa Lagi?