PARADAPOS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi mengusulkan partai politik atau parpol didanai APBN.
Langkah ini dinilai penting sebagai upaya menekan praktik korupsi di balik mahalnya ongkos politik.
Apakah itu bisa menjamin?
USULAN agar partai politik mendapat bantuan dana besar dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) disampaikan Wakil Ketua KPK Korupsi Fitroh Rohcahyanto dalam diskusi bertajuk ‘State Capture Corruption: Belajar dari Skandal e-KTP' pada Kamis, 15 Mei 2025.
Fitroh menilai langkah ini penting diambil sebagai upaya menekan praktik korupsi.
Sebab kasus korupsi yang terjadi selama ini menurutnya tidak terlepas dari mahalnya biaya ongkos politik yang harus dikeluarkan.
Baik di level calon anggota legislatif, kepala daerah hingga presiden dan wakil presiden.
Di tengah mahalnya ongkos politik itu, kata Fitroh, calon pejabat tersebut acap kali mencari sumber dana dari para pemodal atau pengusaha.
Kondisi tersebut yang kemudian melahirkan praktik koruptif sebagai bagian dari upaya balas budi ketika mereka terpilih.
“Sering terjadi di kasus korupsi, timbal baliknya ketika menduduki jabatan tentu akan memberikan kemudahan bagi para pemodal ini untuk menjadi pelaksana kegiatan proyek-proyek di daerah, kementerian, maupun di dinas-dinas," ungkap Fitroh.
KPK, kata Fitroh, sebenarnya telah berulang kali menyarankan agar partai politik atau parpol mendapat bantuan dana yang lebih besar dari APBN.
Setidaknya ia meyakini langkah ini dapat menekan terjadinya praktik korupsi balas budi.
“Salah satu yang pernah dan akan terus dilakukan KPK adalah memberikan rekomendasi pendanaan terhadap partai politik agar dibiayai dari APBN,” tuturnya.
Dalam pelaksananya KPK menurut Fitroh akan turut melakukan pengawasan.
Selain itu Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK nantinya juga memiliki hak untuk melakukan audit terhadap parpol yang menerima bantuan dana APBN.
“Tentu harus bisa diaudit dan dipidana kalau memang ada unsur tindak pidananya,” jelas Fitroh.
Usulan KPK tersebut turut mendapat dukungan dari Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.
Ia sependapat bahwa bantuan dari APBN ini penting untuk memastikan parpol tidak menerima dana dari pihak eksternal yang bisa menjadi celah terjadinya praktik koruptif balas budi.
“Saya mendukung gagasan KPK. Semoga KPK bisa melakukan kajian yang komprehensif terkait dengan besaran bantuan kepada partai politik yang bersumber dari APBN. Karena bersumber dari APBN maka penggunaan dana tersebut juga wajib untuk diaudit oleh BPK,” ujar Supratman.
Dituntut Lebih Akuntabel dan Transparan
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyambut positif usulan KPK.
Sebab wacana agar parpol mendapat bantuan dana yang lebih besar dari APBN ini juga telah lama diusulkan oleh Perludem bersama kelompok organisasi masyarakat sipil lainnya.
Peneliti Perludem, Haykal menyebut saat ini parpol sebenarnya telah mendapat dana bantuan dari APBN, tapi nominalnya masih terbilang kecil.
“Kalau dikaji berdasarkan kebutuhan partai politik, itu memang masih sangat kecil,” kata Haykal, Senin (19/5/2025).
Ketentuan terkait Bantuan Keuangan Partai Politik telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009.
Dalam perubahan aturan tersebut disebutkan, nilai bantuan keuangan kepada parpol di tingkat pusat atau DPR RI sebesar Rp1.000/ suara sah.
Kemudian di tingkat DPRD Provinsi sebesar Rp1.200/ suara sah dan Rp1.500/ suara sah untuk tingkat DPRD kabupaten atau kota.
Haykal menilai dengan adanya bantuan dana besar dari APBN, maka parpol dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam melaporkan keuangannya.
Sebab selama ini parpol cenderung hanya sebatas melaporkan keuangan yang bersumber dari APBN yang nilainya kecil.
Sementara sumber utama pendanaan parpol yang berasal dari iuran anggota hingga sumbangan pihak eksternal seperti pengusaha yang acap kali melahirkan praktik koruptif balas budi tidak terpantau.
“Jadi harapannya melalui peningkatan pemberian bantuan dana negara kepada parpol, nantinya parpol dalam tanda kutip bisa lebih dipaksa untuk akuntabel dan transparan,” jelas Haykal.
Di sisi lain, Haykal menilai sistem bantuan APBN yang berlaku saat ini juga cenderung lebih menguntungkan parpol-parpol besar.
Sebab besaran bantuan yang dikeluarkan itu merujuk pada jumlah perolehan suara.
Ke depan, kata Haykal, Perludem menyarankan bantuan dana dari APBN itu dibagi dalam dua model.
Selain berdasar jumlah perolehan suara sah, juga harus ada bantuan dana tetap dengan nominal yang sama.
Tak hanya itu, Haykal menilai perlu adanya aturan yang membatasi jumlah sumbangan dana dari pihak eksternal kepada parpol.
Aturan ini menurutnya penting, sebagai upaya mencegah terjadinya praktik koruptif balas budi.
“Misalnya sumbangan itu tidak boleh melebihi dari bantuan yang didapatkan dari negara. Ini penting untuk memastikan bahwa ruang gelap pemberian dana politik dari pihak swasta ini tidak lagi terjadi,” tuturnya.
Komitmen Parpol dan Penegak Hukum
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia berpendapat serupa.
Dalam titik tertentu ia menilai usulan untuk menambah bantuan dana dari APBN kepada parpol memang bisa menekan terjadinya praktik koruptif balas budi di tengah mahalnya ongkos politik.
Namun hal itu baru bisa terwujud jika parpol memiliki komitmen yang kuat dalam melaporkan keuangannya.
“Kalau misalkan itu tidak dilakukan ya tetap patut curiga kemungkinan besar siklus korupsi politik akan berlanjut. Karena salah satu perasyarat untuk mencegah korupsi itu soal transparansi,” jelas Yassar.
Yassar menyebut selama ini parpol memang cenderung tidak terbuka soal sumber dana yang mereka peroleh.
Bahkan berdasar hasil wawancara yang dilakukan ICW, beberapa parpol memilih menolak menerima bantuan dana APBN karena nominalnya yang kecil dan harus diaudit.
“Jadi ketika pelaporan rumit tapi secara nominal tidak cukup menutupi kebutuhan tahunan mereka. Itu sangat banyak partai yang justru memilih untuk tidak mengambil bantuan politik tersebut,” bebernya.
Oleh karena itu, lanjut Yassar, jika pemerintah ingin meningkatkan bantuan kepada parpol, perlu ada pengawasan maksimal.
Selain perlu komitmen dari penegak hukum untuk menindak apabila terjadi penyelewengan.
“Aparat penegak hukum harus lebih sigap untuk menindak dugaan-dugaan apapun yang mungkin berujung pada korupsi atau penyelewengan anggaran,” bebernya.
Peneliti Perludem, Haykal berpendapat serupa. Menurutnya partai politik bisa saja dijatuhi hukuman berupa pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi atau MK jika nantinya terbukti terlibat dalam perkara korupsi.
“Pembubaran partai politik sidangnya ada di MK, walaupun itu belum pernah digunakan kewenangannya. Tetapi ini bisa menjadi salah satu jalan keluar ketika ada partai politik melakukan tindakan perbuatan melawan hukum atau melakukan korupsi dan sebagainya,” pungkas Haykal.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Dugaan Ijazah Palsu, Buni Yani Bongkar Kejanggalan Dugaan Polisi Lindungi Jokowi
Isu Ijazah Palsu Jokowi Bikin Anak Muda Ogah Kuliah di UGM, Katanya Mirip Universitas Abal-abal di Bangunan Ruko
Setelah Listrik, Jaringan Seluler Spanyol Lumpuh
Diungkap Rocky Gerung, Prabowo Ingin Jadi Pemimpin Sosialis Asia