KULTUS JOKOWI: 'Ketika Kader PSI Terlalu Jatuh Cinta Sampai Lupa Akal'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Ada kalimat dari Antonio Gramsci yang bisa jadi cocok untuk membuka perbincangan ini: “Krisis muncul ketika yang lama telah mati dan yang baru belum lahir. Dalam masa jeda itu, muncul gejala-gejala yang ganjil.”
Salah satu gejala ganjil itu kini tampak dalam pernyataan kader-kader PSI.
Mereka bukan hanya menjilat kekuasaan, tapi meneguknya sampai tetes terakhir, bahkan menyamakannya dengan wahyu langit.
Beberapa waktu lalu, Grace Natalie, elite PSI, menyatakan bahwa ideologi partainya adalah Jokowi.
Bukan nasionalisme, bukan kerakyatan, bukan sosialisme-demokratis.
Tapi Jokowi—nama seorang manusia fana dijadikan ideologi, sesuatu yang dalam kamus politik masuk ke dalam kategori pemujaan.
Lalu muncul nama Dadi Nur, kader muda PSI yang lebih radikal lagi menyatakan bahwa Jokowi seperti Nabi. Ya, Nabi. Titik.
Kita sedang berhadapan dengan dua hal yang sangat serius: pertama, kedangkalan literasi politik; kedua, pendangkalan makna kepemimpinan.
Grace Natalie mungkin lupa (atau pura-pura lupa) bahwa ideologi bukan sekadar nama orang.
Ia adalah sistem nilai, bangunan gagasan, dan arah perjuangan yang menyeluruh.
Menyebut “Jokowi” sebagai ideologi tanpa menjelaskan aspek-aspek apa dari Jokowi yang dimaksud, sama halnya dengan menyebut “kopi” sebagai agama hanya karena menyenangkan.
Lebih berbahaya lagi, menjadikan nama manusia sebagai ideologi adalah bentuk awal dari totalitarianisme lunak.
Kita belajar itu dari sejarah: dari Mao, Stalin, hingga Kim Jong Un—semuanya berawal dari kultus personal.
Sementara itu, Dadi Nur, dalam semangat yang mungkin tulus tapi sangat ngawur, telah menyejajarkan Jokowi dengan para nabi.
Sebuah lompatan teologis yang bahkan mungkin membuat para penyembah berhala di zaman jahiliyah mengernyitkan dahi.
Membandingkan manusia dengan nabi, apalagi seorang presiden yang rekam jejaknya penuh kontradiksi dan kontroversi, adalah bentuk penistaan epistemik.
Kita jadi bertanya: apakah ini cinta, atau justru bentuk hinaan yang terselubung?
Sebab, Nabi adalah sosok yang membawa wahyu, mengajarkan nilai-nilai rahman–rahim, menegakkan keadilan atas nama Tuhan.
Sementara Jokowi? Kita lihat bagaimana hukum tumpul ke atas, bagaimana kekuasaan disulap jadi dinasti, bagaimana proyek IKN lebih penting dari pendidikan.
Menyamakannya dengan nabi bukan pujian, itu satire yang menyakitkan—tanpa mereka sadari.
Lucunya, pemujaan ini juga menelanjangi wajah asli Jokowi.
Jika kita tarik lebih jauh, Jokowi dalam versi PSI ini adalah inkarnasi Machiavelli, tapi dalam gaya Javanese smile yang lembut dan terkesan polos.
Ia bisa mencengkeram tanpa menggertak, bisa menyingkirkan lawan dengan senyuman, dan bisa membangun kekuasaan dengan wajah rakyat kecil.
Jokowi versi ini lebih kejam dari “The Prince”–nya Machiavelli, sebab ia tidak sekadar menggunakan kekuasaan demi stabilitas, tapi menciptakan dinasti dan buzzer untuk membentuk realitas.
Dan ironisnya, kader-kader PSI justru sedang tanpa sadar membongkar semua itu lewat pujian mereka.
Yang mereka anggap sebagai kultus, justru memperlihatkan wajah tirani dengan topeng populisme.
Ini bukan pujian, ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan harga diri demokrasi.
Di sini kita menyaksikan tragedi besar dalam politik Indonesia hari ini: generasi muda politik justru kehilangan ideologi, lalu mencari ganti pada sosok yang sedang berkuasa.
Mereka tidak ingin berpikir, hanya ingin menang. Maka mereka cari simbol yang paling kuat, dan menumpang di sana.
Sayangnya, dalam dunia ide dan politik, menumpang tanpa berpikir hanya akan melahirkan generasi pengikut, bukan pemimpin.
PSI seharusnya menjadi partai masa depan, dengan anak-anak muda yang cerdas dan kritis.
Tapi jika sejak awal sudah menjadikan “Jokowi” sebagai ideologi dan “nabi”, maka tunggulah kehancurannya.
Sebab dalam sejarah, semua kultus berakhir tragis. Dan para pengkultus, biasanya tidak pernah tahu mengapa mereka ikut terseret.
Semoga suatu hari nanti, kader-kader PSI bisa membaca ulang buku The Prince, atau minimal membuka kamus filsafat politik sebelum berbicara.
Sebab, mencintai pemimpin itu boleh. Tapi menjadikannya tuhan, itu penyakit. Dan penyakit itu sedang mewabah—di tubuh PSI. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Dilanda Isu Miring hingga Anak dan Menantu, Jokowi Tak Gentar: Siap Unjuk Ijazah Asli di Pengadilan
Bendahara Negara Usul Tambah Anggaran Rp 4,88 Triliun
Tanggapi Replik Jaksa, Kubu Tom Lembong: Inkopkar Pinjam Gula untuk Perintah Jokowi
Eks Panglima TNI Bongkar Alasan Prabowo Pilih Gibran Jadi Cawapres: Ada Ancaman dari Sang Paman