Catatan Sejarah Membela & Melindungi Kezaliman: Mengundang Revolusi Rakyat!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam sejarah, kekuasaan yang dipertahankan secara membabi buta kerap berakhir dalam letupan besar.
Ketika ketidakadilan terus dipelihara, dan suara-suara perlawanan dibungkam, sejarah memiliki cara sendiri untuk berbicara kembali—melalui revolusi.
Louis XVI di Prancis, Shah Reza Pahlavi di Iran, hingga Hosni Mubarak di Mesir adalah nama-nama yang pernah disanjung dan dipertahankan oleh elite.
Namun justru dari benteng pertahanan itulah, kemarahan rakyat mendidih dan akhirnya meledak.
Kini, Indonesia tampaknya sedang berjalan di garis sejarah yang sama, dengan tokoh sentralnya: Joko Widodo. Sosok yang MH Ainum Najib menjulukinya sebagai “fir’aun”
Jokowi, yang dahulu dielu-elukan sebagai man of the people, berubah perlahan menjadi representasi dari kekuasaan yang tak lagi peduli pada rasa keadilan.
Ia bukan lagi sekadar presiden yang memimpin dua periode, tetapi kini menjelma sebagai arsitek dari nepotisme politik paling terang-terangan sejak Orde Baru.
Mengangkat anak dan menantu ke panggung kekuasaan dengan rekayasa hukum adalah pertunjukan vulgar yang mencederai demokrasi.
Lebih buruk lagi, mereka yang semestinya menjadi pengawas kekuasaan justru berubah menjadi pagar makan tanaman.
Partai politik, Mahkamah Konstitusi, hingga media arus utama ramai-ramai mempertahankan narasi bahwa Jokowi adalah “stabilitas”, padahal yang sedang dijaga bukan stabilitas rakyat, melainkan stabilitas kekuasaan yang menguntungkan segelintir elite.
Namun sejarah tidak pernah benar-benar bisa disensor. Seperti rakyat Iran yang membakar gambar Shah, atau massa Mesir yang menduduki Tahrir Square, kemarahan rakyat Indonesia juga tengah mengeram.
Isu kemiskinan, ketimpangan, korupsi yang makin vulgar, hingga pembangunan Ibu Kota baru yang menyedot anggaran di tengah derita rakyat, menjadi bara dalam sekam.
Ada kemiripan mencolok: pemimpin yang merasa dicintai, padahal sedang dibenci dalam diam.
Dukungan semu yang dibangun dari ketakutan, pencitraan, dan manipulasi hukum adalah fondasi rapuh yang suatu saat akan runtuh oleh gelombang amarah rakyat.
Dan ketika kekuasaan tak lagi bisa dibendung oleh logika, rakyat akan mengambil alih sejarah.
Bukan melalui pemilu yang dimanipulasi, tetapi lewat suara jalanan—tempat di mana keadilan kembali menjadi milik mereka yang pernah dicuri haknya.
Revolusi memang tak bisa diramal, tetapi ia selalu datang ketika rakyat dikhianati terlalu lama. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
PP GPA: Tanpa Polisi, Hukum Tidak akan Tegak
Pantas Bikin Motor Mogok, Kejagung Buka Borok Pertamina: Patra Niaga Beli Pertalite, Eh Dioplos Jadi Pertamax!
MK Batalkan Hasil Pilkada Serang Gegara Cawe-cawe Menteri, Netizen: Kalau Gibran Aman
Anak Riza Chalid Mulai Nginep di Rutan Salemba