GIBRAN: 19 Juta Lapangan Kerja - Ilusimu Tidak Membuka Lowongan Kerja Baru!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di tengah sorak sorai kampanye dan parade jargon yang memabukkan, Gibran Rakabuming Raka—wakil presiden terpilih 2024–2029—berdiri di podium debat dengan senyum pasti.
Dengan suara mantap, ia menjanjikan akan menciptakan 19 juta lapangan kerja baru dalam lima tahun ke depan.
Pernyataan yang terdengar seperti jimat politik, penuh gairah namun hampa data. Kini, hanya beberapa bulan setelah pemilu usai, janji itu mulai memantul sebagai gema retoris—menguap di udara panas realitas ekonomi nasional.
Laporan World Economic Outlook April 2024 dari International Monetary Fund (IMF) seperti menyiramkan air dingin ke atas bara janji kampanye itu.
Indonesia, tulis IMF, menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara.
Angkanya mencapai 5,2 persen, lebih tinggi dari Filipina (5,1 persen), Malaysia (3,5 persen), bahkan jauh di atas Singapura (1,9 persen) dan Thailand (1,1 persen). Sebuah tamparan telak terhadap narasi surplus lapangan kerja.
Jika dijabarkan secara matematis, untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja baru dalam satu periode pemerintahan (lima tahun), negara harus membuka rata-rata 3,8 juta pekerjaan per tahun.
Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mentok di angka 5,5 persen, sebagaimana dicatat Bank Dunia, justru menjadi penghambat utama.
Masalahnya sederhana tapi fundamental: pertumbuhan ekonomi 5,5 persen tidak cukup untuk menyerap lonjakan angkatan kerja yang datang setiap tahun.
Ekonom Faisal Basri dalam banyak kesempatan menyebutkan, Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen untuk bisa menciptakan lapangan kerja yang cukup dan menurunkan angka pengangguran secara signifikan.
Dengan struktur ekonomi yang masih padat karya rendah dan berorientasi komoditas mentah, janji 19 juta pekerjaan terasa seperti menjanjikan taman di atas gurun pasir.
Yang lebih ironis, data IMF tidak hanya menyoroti besarnya angka pengangguran, tapi juga fakta bahwa penurunannya stagnan. Dari 5,3 persen pada 2023 menjadi 5,2 persen pada 2024—hanya menurun 0,1 persen.
Artinya, meski ekonomi tumbuh, ia tidak tumbuh cukup cepat atau cukup luas untuk menyentuh segmen rakyat yang menganggur. Janji pekerjaan berubah menjadi statistik kegagalan.
Situasi ini juga menelanjangi kenyataan bahwa kampanye politik kerap menjadi panggung mimpi yang tak dikawal kalkulasi.
Tidak ada strategi konkret, tidak ada model pembangunan sektor padat karya yang dirinci, dan tak tampak reformasi struktural besar yang bisa menjadi fondasi dari ledakan lapangan kerja.
Apa yang tersisa? Narasi. Retorika. Dan tentu saja: isapan jempol.
Panggung debat memang penuh dengan daya hipnosis. Namun ekonomi tidak tunduk pada imajinasi.
Ia tunduk pada produktivitas, industrialisasi, dan keberanian mengubah struktur ekonomi yang rapuh. Tanpa itu, angka 19 juta bukanlah target, melainkan ilusi.
Dan sayangnya, ilusi tidak pernah mempekerjakan siapa pun. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Prabowo Panggil Persatuan Purnawirawan TNI AD ke Istana, Ada Apa?
Nunggak Pajak, Mobil yang Ditumpangi Jokowi buat Melapor Ternyata Milik Perusahaan Kahiyang Ayu
Viral Senpi Laras Panjang saat Bentrok di Kemang, Kapolres Sebut Itu Senapan Angin
Kisah PETRUS di Era Soeharto: Aksi Pungli Ganggu Perekonomian, Preman Banyak Ditemukan Tewas di Karung