Tadi pagi Pada hari Senin, 5 Mei 2025 pukul 09.30 WITA, telah dilaksanakan gelar perkara di Polres Kota Bima terkait dugaan tindak pidana penganiayaan dan/atau pengerusakan yang melibatkan dua aktivis muda NTB, yakni saudari Uswatun Hasanah alias Badai Ntb dan saudari Rara Marhaen. Perlu diingat bahwa keduanya merupakan kader dari organisasi yang sama, yaitu SEMMI NTB, serta dikenal memiliki garis perjuangan yang searah.
Dalam gelar perkara tersebut, kedua belah pihak pelapor (Rara Marhaen) maupun terlapor (Badai NTB) telah menandatangani surat perdamaian secara sukarela, tanpa adanya tekanan, paksaan, maupun intervensi dari pihak manapun. Secara hukum, pemenuhan syarat formil dan materiil untuk dilakukannya penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice telah terpenuhi.
Penandatanganan surat perdamaian oleh kedua belah pihak menjadi bukti otentik adanya kehendak bersama untuk menyelesaikan perkara ini secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Namun demikian, perlu saya sampaikan kepada publik bahwa Badai NTB hingga saat ini belum dapat dibebaskan. Hal ini disebabkan oleh keputusan Polres Kota Bima yang menunda pengambilan keputusan akhir, karena belum terpenuhinya unsur kehadiran orang tua/wali dari kedua belah pihak pada gelar perkara hari ini. Selain itu, demi menjaga legitimasi sosial dan mempertimbangkan kearifan lokal, Kapolres Kota Bima memutuskan untuk melaksanakan gelar perkara lanjutan dengan persyaratan penting, yakni menghadirkan:
* Orang tua/wali dari Badai NTB dan Rara Marhaen,
* Tokoh pemuda,
* Tokoh agama,
* Tokoh masyarakat.
Kehadiran tokoh-tokoh ini diharapkan dapat memberikan legitimasi moral, sosial, dan budaya dalam mendukung semangat rekonsiliasi, serta memperkuat nilai-nilai restorative justice dalam masyarakat Bima.
Oleh sebab itu, kami mengimbau kepada seluruh pihak, khususnya Aparat Penegak Hukum (APH) dan masyarakat Bima, untuk tidak membiarkan persoalan ini ditunggangi oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi, terutama mereka yang selama ini tidak senang dengan keberanian gerakan Badai NTB dalam mengungkap jaringan koba-koba dan membongkar praktik-praktik kejahatan yang merusak masa depan generasi muda.
Upaya mencampuri proses hukum dengan kepentingan politik atau dendam pribadi adalah bentuk pelecehan terhadap hukum itu sendiri. Restorative justice harus dipahami sebagai bentuk kemuliaan hukum yang berpihak pada perdamaian, pemulihan relasi sosial, dan keberlanjutan perjuangan rakyat untuk hidup dalam masyarakat yang adil, sehat, dan bebas dari ancaman narkotika.
Kami percaya, Polres Kota Bima dan jajaran APH akan bertindak profesional, menjaga independensinya, serta berani mengambil keputusan berdasarkan hukum bukan tekanan atau spekulasi pihak luar. Mari kita hormati proses hukum yang adil, dan jangan biarkan gerakan moral anak-anak muda Bima dirusak oleh provokasi dan fitnah yang tidak berdasar.
Artikel Terkait
Desak Gibran Segera Dimakzulkan, Try Sutrisno: Kalau Tak Dibereskan, Negara Ini Bisa Rusak!
Oknum TNI AL Sempat Setubuhi Jurnalis Juwita di Mobil Sebelum Dihabisi
Modus Tilang, Siswi SMA Dipaksa Puaskan Nafsu Oknum Polisi di Ruang Satlantas Polres Kupang
Desakan Pemakzulan Gibran: Menelaah Antara Proses Hukum dan Realitas Politik