Presiden Boneka dan Kesenyapan Kudeta

- Sabtu, 10 Mei 2025 | 13:45 WIB
Presiden Boneka dan Kesenyapan Kudeta


'Presiden Boneka dan Kesenyapan Kudeta'


Oleh: Lukas Luwarso


Presiden Prabowo pada Sidang Kabinet Paripurna, 5 Mei, membuat pernyataan unik: "Saya dibilang presiden boneka, saya dikendalikan oleh Pak Jokowi. Itu tidak benar."


Pernyataan ini menarik, tapi siapa yang memintanya menyampaikan pernyataan itu? Mengapa perlu ia sampaikan pada sidang kabinet, yang diliput oleh media?


Apakah pernyataan itu diagendakan, dirancang, atau murni dorongan impulsif-reaktif? 


Sekadar ingin membantah rumor, bernuansa konspiratif, terkait kepemimpinannya. 


Isu “presiden boneka” pasti sangat merendahkan, dan tidak semustinya disandang oleh orang yang sedang menduduki kekuasaan (the power that be), berlatar militer, dengan kewenangan begitu besar.


Prabowo merasa perlu merespon rumor presiden boneka dalam sidang kabinet, menunjukkan keseriusan situasinya. 


Mengelevasi rumor dalam rapat formal, mengangkat isu sebagai informasi resmi. 


Boneka atau bukan, yang terkonfirmasi adalah Prabowo mengaku sering berkonsultasi, meminta saran dan pendapat Jokowi. 


Selain soal boneka, dalam pernyataan itu Prabowo juga menyinggung soal “ijazah palsu” Jokowi – tuduhan yang kini sedang diuji di pengadilan.


Beberapa hari sebelum pernyataan Prabowo  membantah sebagai “boneka”, politik Indonesia dikagetkan dengan Keputusan Panglima TNI membatalkan mutasi sejumlah perwira tinggi. 


Pembatalan mendadak hanya berselang sehari setelah mengeluarkan keputusan mutasi. 


Yang diduga terkait erat dengan petisi permintaan para purnawirawan TNI agar Wapres Gibran dicopot.


Mutasi dan pembatalannya menvalidasi sinyalemen adanya cawe-cawe politik dan dualisme komando tertinggi di TNI. 


“Persaingan senyap” antara presiden dan mantan presiden untuk mengkomando TNI dan mengendalikan pemerintahan. 


Jika tervalidasi, bahwa mutasi itu atas permintaan Jokowi, maka sinyalemen “kudeta senyap” memang sedang terjadi.


Rumor persaingan kendali, atawa kudeta senyap, nampaknya juga terjadi di kabinet, kepolisian, dan lembaga negara lainnya, sehingga memunculkan istilah “matahari kembar”. 


Jika persaingan itu benar terjadi, maka bantahan “presiden boneka” menjadi relevan. 


Pertanyaan yang tersisa, pembatalan mendadak keputusan mutasi TNI apakah sudah dikonsultasikan Prabowo ke Jokowi?


Boneka atau bukan boneka, bukanlah esensi persoalan. Itu cuma istilah. 


Prabowo jelas bukan The Manchurian Candidate sebagaimana kisah novel politik era perang dingin yang diangkat ke layar film. 


Menceritakan tokoh militer Amerika Serikat yang dicuci otaknya oleh intellijen China dan diprogram untuk menjadi presiden Amerika.


Dalam leksikon politik modern, The Manchurian Candidate menjadi metafor untuk merujuk pada penguasa yang kekuasaan dikendalikan oleh kekuatan tak terlihat. 


Penguasa yang terlihat patriotik, sebenarnya dikendalikan oleh kekuatan di balik layar, baik asing maupun domestik, yang diam-diam memanipulasi dan mengontrol. Adanya negara dalam negara (deep state).


Latar belakang panggung politik munculnya narasi presiden boneka, saat ini, terkait masih bercokolnya kekuatan politik mantan presiden Jokowi. 


Mesin kekuasaan, sistem, dan budaya politik lama masih bekerja, sebagai konsekuensi politik berkelanjutan. Sedikitnya ada tiga faktor terkait penyebab narasi boneka:


Satu, komposisi kabinet dan pejabat. Ketika sejumlah posisi strategis di pemerintahan Prabowo diisi oleh orang-orang Jokowi (misalnya Luhut Panjaitan, Erick Thohir, Sri Mulyani, Budi Gunadi, Budi Arie, Panglima TNI, Kapolri, Wapres Gibran, dll.). 


Pendekatan sistemik gaya pemerintahan Jokowi berlanjut. Dan bukan tidak mungkin jalannya pemerintahan pada level lapangan dikuasai dan dikooptasi oleh agen-agen Jokowi.


Dua, jaringan oligarki dan mesin kekuasaan. Presiden Prabowo sulit untuk bisa otonom dan mandiri, jika suprastruktur dan infrastruktur kekuasaan masih belum banyak berubah. 


Perlu aliansi baru penjaga demokrasi dan keadilan,  tanpa bergantung pada jaringan oligarki dan elit politik Jokowi. 


Jika ketergantungan pada jaringan Jokowi (koalisi partai, aparat dan birokrasi) masih dominan, maka narasi “boneka” tak terelakkan.


Tiga, kebijakan dan pendekatan politik. Jika  agenda, obsesi, legasi, dan pendekatan gaya Jokowi dilanjutkan tanpa reserve (misalnya IKN, PSN, aglomerasi Jakarta, kereta cepat, infrastruktur, gaya legalisme otokratik, dll), maka persepsi “boneka” jelas sulit untuk dibantah.


Manusia mustinya bukan boneka, kecuali itu pilihannya. Jokowi boleh saja berusaha melanjutkan ambisi dan legasinya, memainkan politik keberlanjutan. 


Bisa menjadi master of puppets who pulling the strings (dalang yang memainkan wayang). 


Pertanyaannya, apakah Prabowo bersedia dan rakyat Indonesia membiarkan?


Jika Jokowi memang perkasa, maka boleh jadi skenario politik boneka ala Vladimir Putin Rusia bisa terjadi di Indonesia. 


Putin mengangkat Dmitry Medvedev menjadi presiden (2008 – 2012) dan Perdana Menteri (2012 – 2020), namun kekuasaan riil tetap ditangan Putin (2000 – hingga saat ini). Medvedev jelas cuma boneka Putin.


Jokowi tentu punya skema dan skenario agar kekuasaannya berlanjutan. 


Namun boneka yang ia punya cuma Gibran Raka (plus sejumlah menteri kabinet, dan pimpinan aparat negara).


Secara teoritis agak mustahil menjadikan Prabowo sebagai Dmitry Medvedev versi Indonesia. Namun politik, dalam ungkapan klise, adalah “seni segala kemungkinan”. 


Jokowi memiliki jimat efektif, menggunakan politik sprindik dan politik sandera, carrot and stick, yang bisa menyihir politikus menjadi boneka.


Boneka atau bukan boneka, tersandera atau tidak tersandera, pada akhirnya berpulang pada Prabowo. 


Ia tidak perlu membantah rumor boneka melalui omon-omon di rapat kabinet. Ia perlu menunjukkan _action, show don’t tell_. 


Menolak mewarisi dan melanjutkan kekuasaan Jokowi, yang menumpuk hutang dan penuh korupsi- kolusi-manipulasi. 


Prabowo harus menolak menjadi Medvedev, sekadar presiden transisi, untuk menyerahkan kekuasaan ke tampuk Gibran Rakabuming.


Kejelasan kompas moral politik Prabowo sedang dipertanyakan, dan diuji, dalam narasi kontestasi politik “boneka dan tuannya” saat ini. Berkompromi dan konformis dengan Jokowi adalah kesalahan sejarah. 


Terombang-ambing antara menjalankan misi pemerintahannya atau menjaga marwah “hidup Jokow” adalah kebingungan parah.


Membiarkan Jokowi dan agen-agennya di pemerintahan terus beraksi merajalela (melakukan mutasi dan membatalkan; menarik kembali orang yang sudah undur diri) sama artinya  memfasilitasi “kudeta senyap” yang sedang dirancang dan dimainkan Jokowi.


Prabowo tidak perlu membantah rumor, selain cukup punya nyali untuk mengganti agen-agen Jokowi di pemerintahan. 


Perlu memberi sinyal yang jelas kepada siapa ia berpihak: Kepada Jokowi yang sedang membangun dinasti politik, atau kepada republik. “Hidup rakyat, alih-alih hidup Jokowi.”


Action speaks louder than omon-omon Jika hal mudah ini tidak ia lakukan, sejarah mungkin akan mencatatnya sebagai presiden boneka. ***

Komentar