PERGESERAN PEMBANGUNAN DARI KIRI KE KANAN

- Selasa, 13 Mei 2025 | 07:25 WIB
PERGESERAN PEMBANGUNAN DARI KIRI KE KANAN


Meminjam istilah dari seorang Professor Emiratus Studi Perdamaian  dan Konflik dari Universitas Otago di Selandia Baru yang bernama Kevin Paul Clements yang pernah menerbitkan satu karya yang berjudul “Teori Pembangunan dari Kiri ke kanan” pada tahun 1997 yang cukup argumentatif kritis terhadap isu-siu pembangunan yang berkembang di seluruh belahan dunia. Bahwa proses pembangunan bukan sekedar perpindahan perubahan dari satu titik ke titik yang lainnya, atau pergeseran paradigma satu ke paradigma selanjutnya, tetapi pembangunan juga menyangkut soal isu-isu humanisty, envorinment, gender serta Hak Asasi manusia (HAM). 

Dalam sebuah muqaddimah dirilis dengan apik kalau tiga puluh negara maju yang kini dihuni kurang dari 30% dab diramalkan akan menjadi 20% penduduk dunia padatahun 2000 (kala itu), yang saat ini menguasai kira-kira 90% dari pendapatan, cadangan finansial, produksi baja dunia, minyak bumi, dan menguasai 95% produk ilmu dan tehnologi dunia. Delapan dari 30 negara mau tersebut menguasai 80% ekspor barang industri non-militer; Jerman 21%, Amerika Serikat 17%, Jepang 14%, Inggris, Prancis, Italia masing-masing sekitar 8% dan Kanada 4%. Selain itu, 30% penduduk dunia yang tinggal di 30 negara tersebut (baik kapitalis amupun sosialis) memproduksi  60% hasil pertanian dunia dan mengkonsumsi lebih dari 60% bahan makanan yang terdapat di dunia. 

Pada konteks ini banyak ahli menyayangkan kesalahan berfikir bagi negara-negara penyandang dana terkemuka seperti di Asia (bank pembangunan Asia) atas kebijaksanaan  bantuan sebesar 4 juta dollar AS yang dibuat badan ini sejak 10 tahun terakhir. Sebuah komisi kerja independen yang terdiri dari para akademisi yang ditugaskan untuk memperbaharui survey pertanian Asia yang telah memperburuk kebijaksanaan pembangunan konvensional yang dijalankan berdasarkan strategi pertanian dari ADB (Asian Development Bank) satu dekade sebelumnya. Tercatat pembanguna pertanian di negara-negara Asia anaggota ADB menunjukkan terjadinya kegagalan. 

Sehingga akhir-akhir ini diakui secara luas bahwa ketimpangan internasional  telah memburuk selama 39 tahun terakhir ini.Kenyataan ini sebagian besar dapat dikaitkan dengan sifat ekonomi dunia yang kapitalis-eksploitatif. Model ekonomi dunia ini sebenanrnya belum diterima oleh teoritisi pembangunan yang beraliran ortodokjads dan para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan. Karena itu, teori pembangunan dengan cerdik berhasil mempertahankan berlangsungnnya keterbelakangan di banyak negara berkembang Jika tidak bisa dikatakan semuanya, tetapi fakta-fakta empirik apa yang terjadi di Asia, Afrika dan Amerika Latin menjadi satu realitas bagaimana ketimpangan itu terjadi. 

Bahwa ketimpangan antarnegara di berbagai belahan dunia tidak semata soal-soal eknomi dengan implikasi teorinya, namun di banyak tempat isu-isu lingkungan, gender dan HAM juga memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan di negara yang bersangkutan. Dalam hal ini soal politik, konflik dan perang menjadi perhatian serius bagi dunia untuk memwujudkan peradaban global yang memungkinkan manusia hidup dengan kesejahteraan dan ketentraman. Perang Rusia-Ukraina, serangan Israel ke Palestina, serangan India ke Pakistan, perang dagang Tiongkok dengan Amerika Serikiat juga sangat berpengaruh kondisi ekonomi dunia yang berimbas kepada negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia saat ini. 

Dalam teks ekonomi pembangunan pada prinsipnya tertuju pada masalah-masalah  yang dihadapi oleh negara-negara yang belum maju. Ekonomi pembangunan berusaha menerapkan teori yang relevan untuk memecahkan masalah, dan berusaha melepaskan diri dari perdebatan akan isu-isu teori pembangunan dan politik yang membersamainya. Walaupun kita pahami bahwa ekonomi dunia turut memberikan andil terhadap proses pembangunan di negara-negara lain, apatalagi di negara-negara yang dilanda perang dan konflik antarnegara yang tidak berkesudahan. 

Kenyataan bahwa demikian banyak isu kontroversial dalam teori pembangunan ,secara universal mencerminkan ketidak-pastian politik dan ekonomi mengenai kegunaan dan atau penerimaan teori-teori sosial di dalam pemecahan masalah yang krusial seperti pengurangan angka pengangguran, penghapusan kemiskinan, dan penurunan ketimpangan ekonomi dan sosial yang mendera negara-negara berkembang. Dan kontroversial ini juga pada  dasarnya mencerminkan adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari badan-badan penyandang dana seperti IMF, bank Dunia (IBRD) dan ADB dan berbagai badan pembangunan PBB. Dan para pengambil kebijakan di tubuh badan-badan ini berusaha mendasarkan kebijaksanaan mereka pada teori-teori yang ada yang mereka anggap paling masuk akal (ilmiah), dan secara politis dapat diterima. Sebab apabila kebijaksanaan dan program-program pembangunan ini tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan oleh para pembuat dan perencana keputusan, tentu akan menimbulkan reaksi secara politis atas kegagalan kebijakn yang diterapkannya. Karena itu badan-badan ini akan menjadi lembaga kontrol, dan berharap proyeksi pemberian dana kepada negara-negara yang membutuhkan dana pembangunan pada ahirnya akan mengikat. Inilah yang disebut dengan interdependensi ekonomi politik. 

Gagasan para ekonom dan pemikir politik beranggapan bahwa dunia ini memang diekndalikan oleh sekelompok kecil gagasan (Keyness,1936)—kebanyakan tokoh kunci pembuat kebijakan itu di negraa-negara berkembang atau di negara-negara maju adalah para amatir dan sangat tergantung pada tehnokrat dalam penyunan ekonomi dan sosial. Maka penting sekali bagi kita untuk mengetahu berbagai asumsi yang dipergunakan oleh para tehnokrat agar kita bisa menangkap dan memahami tentang efektifitas yang paling mungkin atau sebaliknya. Dan untuk mengamati negara-negara berkembang secara khusus kita harus memahami pengetahuan tentang ini, karena kebanyakan teori mutakhir yang dikembangkan di negara-negara industri maju dan tidak di negara-negara berkembang (dunia ketiga). 

Pendekatan interdependensi 

Teori Barat mengakui peranan model-model yang telah jadi (Master Models), para teoritisi ekonomi, lebih daripada ilmuwan sosial lainnya, sejak lama cendrung mengakui proposisi-proposisi umum (general Propotitions), dan menerima proposisi tersebut sebagai dalil yang tepat untuk semua waktu, tempat dan kebudayaan (semua negara-negara). Dalam teori ekonomi Barat terdapat tendensi untuk memberi pengaruh kuat  dan ekstrem terhadap negara-negara yang secara politik terikat (interdependensi) terutama dalam proses kebijakan politik di negara yang bersangkutan. Analogi; negara pemberi hutang, akan mengintervensi kebijakan politik dan ekonomi bagi negara yang diberi hutang. Dengan demikian kedaulatan secara ekonomi politik semakin tergerus. 

Sehingga di banyak negara terjadi collaps, bukan karena soal kemiskinan, kelaparan, kesehatan, dan pengangguran tetapi juga karena kebijakan ekonomi fiskal dan politik yang cendrung mengintervensi negara-negara yang diberi donor anggaran utnuk pembangunan. Dalam pengertian hutang luar negeri ibarat “perangkap tikus” memberi makan lalu menjebaknya dalam kerangkeng. Fenomena ini terjadi dihampir seluruh negara tak terkecuali di negara-negara berkembang. 

fenomena korupsi juga menjadi isu sentral dalam upaya mendorong akselerasi pembangunan di berbagai negara. Penegakan hukum (low enforcement), termasuk kepastian hukum, ketertiban sosial politik, ketentraman struktur dan pranata sosial di masyarakat (seperti fenomena premanisme), konflik antarsuku, isu politik yang tidak jujur, kesemuanya itu menjadi asbab sebuah negara mengalami kekacauan yang menyebabkan iklim ekonomi yang tidak kondusif. Jangankan negara-negara industri, negara maju atau bank dunia akan memberikan kucuran dana, investor lokal pun akan berfikir seribu kali untuk mempertahankan reputasinya di dalam negeri, patalagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di satu negara. Artinya faktor politik, kepastian hukum dan tertib sosial menjadi penting mendapat perhatian khusus bila keberlanjutan pembangunan itu akan terjadi. 

Tak semata soal paradigma

Pergeseran pembangunan, dalam konteks ini, mengacu pada perubahan signifikan dalam cara sebuah negara atau wilayah melakukan pembangunan. Pergeseran ini bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk perubahan dalam pemahaman tentang pembangunan, tantangan baru yang muncul, dan kebutuhan untuk mengatasi masalah yang tidak terpecahkan oleh pendekatan-pendekatan sebelumnya. 

Paradigma pembangunan telah mengalami perubahan mendasar dalam beberapa dekade terakhir. Model-model pembangunan yang sebelumnya dianggap sukses, seperti model pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, mulai menunjukkan kelemahan dan tidak mampu lagi mengatasi masalah kompleks yang dihadapi.  Pergeseran menuju pembangunan berkelanjutan menjadi semakin jelas, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan, isu egnder, HAM, dan kepastian hukum termasuk iklim politik yang membaik.

dengan ddasar inilah kemudian pemerintah mulai beralih dari peran sebagai "provider" (pemberi) menuju peran sebagai "enabler" (penggerak) dalam pembangunan. Ini berarti pemerintah lebih fokus pada menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, mendorong partisipasi masyarakat, dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan semakin melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pendekatan partisipatif bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan dan aspirasi masyarakat diakomodasi dalam proses pembangunan.  Pembangunan tidak lagi dilihat sebagai masalah yang terpisah-pisah, tetapi sebagai proses yang terintegrasi yang melibatkan berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, lingkungan, dan politik. 

Pergeseran pembangunan juga mencakup perluasan ruang lingkup pembangunan, dari yang sebelumnya hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi menjadi fokus pada peningkatan kualitas hidup, keadilan sosial, dan pembangunan lingkungan.  Secara keseluruhan, pergeseran pembangunan merupakan proses yang kompleks dan berkelanjutan. Perubahan ini bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan berpihak pada kepentingan masyarakat secara universal. 

Dan bagi Indonesia, 30 tahun terakhir ini dalam berbagai situasi ekonomi dan politik maka sangat dimungkinkan arah pembangunan akan bergerak dari kiri ke kanan sebagai upaya pergeseran cara pandang, siakp dan perilaku dalam proses pengambilan keputusan demi kepentingan yang berbasis kerakyatan. Ini penting untuk dilakukan sebagai langkah startegis untuk memutus mata rantai korupsi yang semakin hari semakin membahayakan bagi keberlanjutan negara. 

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Peulsi Buku, Kritikus sosial politik, dan penggiat demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar