Miris! Di Negeri Yang Memburu Kebenaran Jadi Tersangka: ULAH JOKOWI

- Kamis, 15 Mei 2025 | 14:35 WIB
Miris! Di Negeri Yang Memburu Kebenaran Jadi Tersangka: ULAH JOKOWI


Miris! Di Negeri Yang Memburu Kebenaran Jadi Tersangka: 'ULAH JOKOWI'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di negeri ini, menuntut kebenaran bisa lebih melelahkan daripada melakukan kebohongan. 


Ironi itu begitu terasa dalam kisah pelik tentang ijazah Presiden Joko Widodo—yang entah mengapa, tak kunjung ditunjukkan secara terbuka kepada publik, meski persoalan ini sudah menyeret banyak anak bangsa ke meja hijau.


Laporan demi laporan dilayangkan oleh Presiden terhadap mereka yang ia anggap menyebar fitnah terkait keaslian ijazahnya. 


Namun yang menjadi sorotan bukan hanya substansi tuduhannya, melainkan justru absennya bukti yang paling fundamental: ijazah asli itu sendiri.


Alih-alih memperlihatkan dokumen otentik yang dapat meredakan polemik dan menutup ruang spekulasi, Istana justru memilih jalan sunyi: menyerahkan video-video lawas sebagai “barang bukti” dugaan penyebaran hoaks. 


Padahal yang dituntut oleh publik bukanlah narasi digital, melainkan secarik kertas bersegel institusi pendidikan, dengan tinta sejarah dan kejelasan administratif.


Apakah terlalu sulit bagi seorang kepala negara untuk menunjukkan ijazahnya sendiri? 


Bukankah itu adalah dokumen publik, syarat administratif ketika mencalonkan diri? 


Atau justru kita sedang menyaksikan satu episode dari serial panjang kemunduran demokrasi, di mana transparansi dikalahkan oleh kekuasaan?


Prof. Denny Indrayana, pakar hukum tata negara, pernah menyatakan bahwa “dokumen pencalonan presiden, termasuk ijazah, adalah dokumen publik yang wajib dapat diakses, karena menyangkut hak pemilih untuk mengetahui informasi yang relevan mengenai calon pemimpin mereka.” 


Maka ketika dokumen publik itu tidak dibuka, dan justru digantikan dengan upaya pemidanaan, yang tergugat bukan hanya orang yang bertanya, melainkan prinsip keterbukaan itu sendiri.


Kisah ini bukan hanya soal Jokowi dan ijazahnya. Ini adalah tentang bagaimana energi anak bangsa dipaksa habis untuk memperjuangkan satu prinsip sederhana: kebenaran. 


Mereka yang bersuara lantang, seperti Bambang Tri Mulyono dan kawan-kawan, tidak sedang mempertanyakan ijazah demi sensasi. 


Mereka hanya ingin tahu: benarkah pemimpin negeri ini memenuhi syarat sebagai pemimpin?


Namun alih-alih dijawab, mereka dilaporkan. Diadili. Dijerat dengan pasal-pasal karet yang lebih sering menjadi alat kekuasaan ketimbang instrumen keadilan. 


Negara, yang seharusnya melindungi pencari kebenaran, justru berubah menjadi menara gading yang tak mau disentuh oleh rakyatnya sendiri.

Halaman:

Komentar