Miris! Di Negeri Yang Memburu Kebenaran Jadi Tersangka: 'ULAH JOKOWI'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di negeri ini, menuntut kebenaran bisa lebih melelahkan daripada melakukan kebohongan.
Ironi itu begitu terasa dalam kisah pelik tentang ijazah Presiden Joko Widodo—yang entah mengapa, tak kunjung ditunjukkan secara terbuka kepada publik, meski persoalan ini sudah menyeret banyak anak bangsa ke meja hijau.
Laporan demi laporan dilayangkan oleh Presiden terhadap mereka yang ia anggap menyebar fitnah terkait keaslian ijazahnya.
Namun yang menjadi sorotan bukan hanya substansi tuduhannya, melainkan justru absennya bukti yang paling fundamental: ijazah asli itu sendiri.
Alih-alih memperlihatkan dokumen otentik yang dapat meredakan polemik dan menutup ruang spekulasi, Istana justru memilih jalan sunyi: menyerahkan video-video lawas sebagai “barang bukti” dugaan penyebaran hoaks.
Padahal yang dituntut oleh publik bukanlah narasi digital, melainkan secarik kertas bersegel institusi pendidikan, dengan tinta sejarah dan kejelasan administratif.
Apakah terlalu sulit bagi seorang kepala negara untuk menunjukkan ijazahnya sendiri?
Bukankah itu adalah dokumen publik, syarat administratif ketika mencalonkan diri?
Atau justru kita sedang menyaksikan satu episode dari serial panjang kemunduran demokrasi, di mana transparansi dikalahkan oleh kekuasaan?
Prof. Denny Indrayana, pakar hukum tata negara, pernah menyatakan bahwa “dokumen pencalonan presiden, termasuk ijazah, adalah dokumen publik yang wajib dapat diakses, karena menyangkut hak pemilih untuk mengetahui informasi yang relevan mengenai calon pemimpin mereka.”
Maka ketika dokumen publik itu tidak dibuka, dan justru digantikan dengan upaya pemidanaan, yang tergugat bukan hanya orang yang bertanya, melainkan prinsip keterbukaan itu sendiri.
Kisah ini bukan hanya soal Jokowi dan ijazahnya. Ini adalah tentang bagaimana energi anak bangsa dipaksa habis untuk memperjuangkan satu prinsip sederhana: kebenaran.
Mereka yang bersuara lantang, seperti Bambang Tri Mulyono dan kawan-kawan, tidak sedang mempertanyakan ijazah demi sensasi.
Mereka hanya ingin tahu: benarkah pemimpin negeri ini memenuhi syarat sebagai pemimpin?
Namun alih-alih dijawab, mereka dilaporkan. Diadili. Dijerat dengan pasal-pasal karet yang lebih sering menjadi alat kekuasaan ketimbang instrumen keadilan.
Negara, yang seharusnya melindungi pencari kebenaran, justru berubah menjadi menara gading yang tak mau disentuh oleh rakyatnya sendiri.
Dalam kerangka hukum, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik jelas menyatakan bahwa informasi tentang pejabat publik yang berkaitan dengan kepentingan jabatan dan syarat administratif adalah bagian dari informasi yang wajib diumumkan.
Ketertutupan terhadap ijazah presiden bukan hanya menciderai semangat undang-undang itu, tetapi juga membalik logika demokrasi: yang terbuka dibungkam, yang tertutup dilindungi.
Kini, bukan hanya tenaga, waktu, dan biaya yang habis. Tapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan keterbukaan.
Energi anak bangsa yang seharusnya dipakai untuk membangun negeri, dipaksa dialihkan untuk berdebat tentang sesuatu yang seharusnya sudah terang benderang sejak awal.
Yang diperjuangkan bukan penggulingan kekuasaan. Bukan pula hasrat untuk menjatuhkan nama baik. Yang diperjuangkan adalah hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Karena dalam demokrasi, tak ada ruang bagi rahasia dalam urusan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Lantas, mengapa negara memilih bertahan dalam keheningan? Mengapa Presiden Jokowi seakan lebih memilih menyerang mereka yang bertanya, ketimbang menjawab dengan sederhana: memperlihatkan ijazah?
Ini bukan hanya soal ijazah. Ini soal pesan yang dikirim kepada seluruh warga negara: bahwa bertanya bisa membahayakan.
Bahwa menyuarakan kebenaran bisa mengantar ke penjara. Bahwa di negeri ini, kebenaran bisa menjadi tersangka.
“Kita seperti hidup dalam negara yang membalik norma,” kata Zainal Arifin Mochtar, ahli hukum dari UGM.
“Orang yang menanyakan keabsahan, yang seharusnya difasilitasi negara, justru dikriminalisasi. Ini bukan persoalan pribadi presiden, ini preseden buruk bagi sistem hukum dan demokrasi kita.”
Kita sedang berada di fase berbahaya dalam perjalanan republik.
Ketika transparansi ditutup rapat-rapat, dan rakyat diminta percaya begitu saja, tanpa hak bertanya.
Ketika kritik dianggap sebagai subversi. Ketika mempertanyakan dokumen publik dianggap sebagai tindakan kriminal.
Di bawah langit Indonesia yang konon merdeka ini, ternyata mencari kebenaran bisa jadi petualangan paling melelahkan.
Bahkan bisa lebih berat daripada memalsukan kebenaran itu sendiri.
Dan di situlah luka kita sebagai bangsa semakin menganga. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Viral Video Sebut Autisme di Vietnam Melonjak Setelah Peluncuran Vaksin Buatan Bill Gates, Begini Faktanya
Terungkap! Diduga Modus Oknum Kades dan Sekdes Viral Berduaan di Kamar, Ngaku Pergi Perjalanan Dinas
Viral, Video Mesum Devita Tengger Durasi 1 Menit 50 Detik
Kasino Pertama RI Beroperasi, Pemerintah Cuan Ratusan Miliar