GEGER Akademisi RI Jadi Sasaran Interogasi & Pemeriksaan di Bandara Changi Soal Unggahan ISIS, Begini Kronologinya!

- Sabtu, 17 Mei 2025 | 05:40 WIB
GEGER Akademisi RI Jadi Sasaran Interogasi & Pemeriksaan di Bandara Changi Soal Unggahan ISIS, Begini Kronologinya!




PARADAPOS.COM - Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) mengonfirmasi pada Kamis 15 Mei 2025, bahwa akademisi asal Indonesia bernama Muhammad Zulfikar Rakhmat menjalani "wawancara dan pemeriksaan saat kedatangan" di Bandara Changi pada dua kesempatan terpisah di tahun 2023.


Sosok Zulfikar Rakhmat disebut menarik perhatian keamanan Singapura. Bukan tanpa alasan, Zulfikar dituding pernah membuat unggahan terkait ISIS.


Melansir laman CNA, Kamis, Muhammad Zulfikar Rakhmat disebut pernah membuat unggahan daring yang mendukung aksi-aksi Islamic State (ISIS), kata MHA menanggapi pertanyaan dari CNA.


Pada kedua kesempatan itu, dia kemudian diizinkan masuk untuk melanjutkan penerbangan keesokan harinya.


"Kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan, termasuk menghentikan di pos pemeriksaan kami untuk pemeriksaan dan wawancara, atau bahkan menolak masuk ke Singapura, terhadap orang asing yang kami nilai dapat menjadi ancaman keamanan bagi negara dan masyarakat kami," kata MHA.


"Masuk ke Singapura adalah hak istimewa, bukan hak mutlak, dan orang asing tidak boleh berharap untuk secara otomatis diizinkan masuk, apalagi tanpa pemeriksaan yang kami anggap perlu," katanya.


Dua Insiden Terkait


Masih menurut CNA, dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs Middle East Monitor—yang menyebut diri sebagai "lembaga penelitian media independen"—Dr. Zulfikar menceritakan pengalamannya "ditahan dan diinterogasi di Bandara Changi" dua kali pada 2023 karena "pekerjaannya sebagai akademisi dan jurnalis yang menulis tentang isu Timur Tengah, terutama Palestina".


Insiden pertama terjadi pada Februari 2023 saat dia transit di Singapura bersama istrinya dalam perjalanan dari Korea Selatan ke Indonesia.


Dia mengaku dihentikan di imigrasi dan dibawa ke sebuah ruangan tempat dia ditanya tentang latar belakangnya, riwayat perjalanan di Timur Tengah, serta pekerjaan akademik dan jurnalistiknya. Dia juga mengklaim bahwa ponselnya disita dan diperiksa.


Dia menambahkan bahwa insiden serupa terjadi pada September 2023 saat dia transit di Singapura dalam penerbangan dari Korea Selatan ke Indonesia.


Menurut situs Middle East Monitor, Dr. Zulfikar adalah Direktur Indonesia-Timur Tengah dan Afrika Utara di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta, serta afiliasi peneliti di Middle East Institute National University of Singapore (NUS).


Di situs NUS Middle East Institute, dia disebut tercatat sebagai peneliti kehormatan dan disebut sebagai profesor riset di Busan University of Foreign Studies.


Menurut situs tersebut, dia memiliki beberapa publikasi, dan opininya pernah dimuat di The Diplomat, Asia Sentinel, dan The Conversation.


Diketahui, Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat sebelumnya pernah duduk sebagai Direktur Indonesia-MENA Desk di Center for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta dan Research Affiliate di Middle East Institute, National University of Singapore.


Dia disebut menghabiskan lebih dari satu dekade tinggal dan bepergian melintasi Timur Tengah, mendapatkan gelar B.A. dalam Urusan Internasional dari Universitas Qatar.


Dia kemudian menyelesaikan gelar M.A. dalam Politik Internasional dan Ph.D. dalam Politik di Universitas Manchester.


Sementara dinukil dari laman Middle East Institute, Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah akademisi asal Indonesia yang penelitiannya berfokus pada hubungan Tiongkok-Indonesia-Timur Tengah. 


Beliau adalah profesor riset di Korea Institute for ASEAN Studies, Busan University of Foreign Studies dan asisten profesor di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia.


Ia juga merupakan afiliasi penelitian di Middle East Institute di National University of Singapore dan peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang berbasis di Jakarta. 


Sejak Agustus 2022, ia menjabat sebagai associate di IDEAS, lembaga pemikir kebijakan luar negeri London School of Economics. 


Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai profesor tamu di Universitas Bina Nusantara dan Universitas Paramadina. 


Dia menerima gelar B.A. dalam Hubungan Internasional dari Universitas Qatar, sebelum menyelesaikan gelar M.A. dalam Politik Internasional dan Ph.D dalam Politik di Universitas Manchester di Inggris.


Klarifikasi Zulfikar


Akademisi asal Indonesia, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menjelaskan sempat diinterogasi dan diperiksa di Bandara Changi, Singapura, pada 2023 karena dinilai otoritas setempat memiliki riwayat mendukung ISIS, Sabtu (17/5),


Ia mengatakan bahwa tudingan yang sampai disampaikan Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) tersebut tidak benar.


"Saya tegaskan: saya tidak pernah mendukung ISIS, dan saya juga tidak pernah membuat unggahan daring yang mendukung tindakannya. Sebaliknya, saya secara terbuka dan konsisten mengkritik kelompok tersebut atas kekerasan dan distorsi ajaran Islam yang dilakukannya," katanya.


Zulfikar mengatakan ia sebagai seorang muslim dan peneliti memandang bahwa ISIS bukan hanya sebagai sumber penderitaan manusia yang sangat besar, tetapi juga sebagai kekuatan yang merusak prinsip-prinsip keadilan dan martabat yang menjadi inti dari iman dan pekerjaannya.


Ia menceritakan, ia menerbitkan artikel yang berisi kecaman terhadap ISIS pada 2014. 


Artikel itu ia tulis merespons pembunuhan Abdul Rahman Kassig, pekerja kemanusiaan asal Amerika Serikat yang disandera dan dibunuh oleh ISIS.


Dalam artikel berjudul 'Pembunuhan Abdul Rahman Kassig: Siapa yang Diwakili ISIS?' itu, Zulfikar menulis "Apa yang disebut Khilafah ini tidak menghargai kehidupan manusia; tidak menghargai pekerja kemanusiaan, tidak menghargai jurnalis, dan, yang lebih penting, tidak menghargai Muslim... Mereka tidak mewakili Islam dalam tindakannya terhadap warga sipil."


"Artikel ini bersama dengan artikel lain yang pernah saya tulis tentang konflik Suriah, berfokus pada penderitaan warga sipil terutama anak-anak dan kebutuhan mendesak akan solusi damai," katanya.


"Ini bukanlah tulisan seseorang yang bersimpati terhadap terorisme; ini adalah refleksi seorang peneliti yang berkomitmen pada keadilan, akuntabilitas, dan hak asasi manusia," sambungnya.


Zulfiklar juga mengatakan ia mengakui hak setiap negara untuk melindungi perbatasan mereka. Namun, harus dilakukan dengan adil dan akurat.


Ketika analisis atau advokasi politik yang kompleks disalahartikan sebagai aktivitas ekstremis, sambungnya, maka konsekuensinya sangat berat tidak hanya bagi individu yang menjadi sasaran, tetapi juga bagi integritas karya akademis dan jurnalistik secara keseluruhan.


"Yang lebih meresahkan adalah bagaimana tuduhan ini tampak seperti upaya terencana untuk mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya: semakin sempitnya ruang bagi suara-suara kritis di Singapura," kata Zulfikar.


"Alih-alih terlibat secara konstruktif dengan masalah hak asasi manusia terutama yang terkait dengan Palestina dan Suriah, otoritas Singapura memilih untuk mendiskreditkan dan mengintimidasi," katanya.


Ia menambahkan bahwa saat diinterogasi, pihak Singapura tak membahas soal ISIS.


"Waktu interogasi mereka enggak bahas ISIS. Makanya saya kaget," katanya.


Sumber: Suara

Komentar