JOKOWI: Negarawan atau Preman Politik?

- Senin, 19 Mei 2025 | 16:50 WIB
JOKOWI: Negarawan atau Preman Politik?


JOKOWI: 'Negarawan atau Preman Politik?'


Oleh: Agusto Sulistio


PERNYATAAN Pengurus Relawan Projo dalam acara diskusi di salah aatu channel Youtube, yang menyebut Jokowi adalah "manusia politik" sehingga kemampuannya perlu didukung. 


Patut dicermati bukan sekadar kalimat netral, melainkan sinyal terang benderang bahwa Jokowi belum siap pensiun dari kekuasaan. 


Kalimat itu sah-sah saja. Tapi, bagi rakyat yang cermat dan masih waras nalar, ini bukti terang bahwa Jokowi dan para loyalisnya tengah mengatur siasat untuk tetap berada di orbit kekuasaan.


Ironis. Sebab, publik mencatat jelas bahwa Jokowi sebelumnya pernah berjanji akan momong cucu usai purna tugas sebagai presiden. 


Itu diucapkannya pada berbagai kesempatan, salah satunya saat diwawancarai Najwa Shihab di program Catatan Najwa (Agustus 2023). 


Tapi apa yang terjadi hari ini? Yang terjadi justru sebaliknya: anak, menantu, bahkan adik ipar kini menjadi penguasa politik hasil kekuatan kekuasaan yang dilanggengkan dengan rekayasa konstitusional.


Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, awalnya hanya pengusaha Es Cendol, kemudian mulus ke Walikota Solo hasil dorongan kekuasaan parpol dan tangan Jokowi. 


Namun sejak November 2023, setelah Mahkamah Konstitusi meloloskan putusan kontroversial usia capres/cawapres, Gibran melenggang menjadi Cawapres Prabowo. 


Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 ini kemudian terbukti sarat konflik kepentingan karena Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran, adik ipar Jokowi sendiri. 


Bahkan dalam putusan Majelis Kehormatan MK, Anwar dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK (7 November 2023).


Lalu Bobby Nasution, menantu Jokowi. Bermodal status menantu presiden, kemudian maju dan mulus sebagai Walikota Medan sejak 2020, kini resmi menjadi Gubernur Sumatera Utara 2024. 


Sebuah lompatan kekuasaan yang sangat cepat dan nyaris tanpa kritik dari elite partai koalisi pemerintah saat itu.


Tidak cukup sampai di situ. Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, dari bisnis jualan martabak mendadak masuk politik dan dalam waktu kurang dari seminggu langsung diangkat sebagai Ketua Umum PSI (25 September 2023). 


Sebuah langkah yang bukan saja tidak lazim, tetapi juga menodai etika politik nasional. 


PSI pun tak malu-malu mengaku bahwa bergabungnya Kaesang adalah keputusan "strategis" untuk membesarkan partai.


Jika sudah seperti ini, pertanyaannya menjadi jelas, "Untuk apa Jokowi masih ingin aktif dalam lingkaran politik kekuasaan setelah purna tugas?"


Dalam sejarah republik ini, tak satu pun mantan presiden bersikap seperti itu. Bung Karno setelah diturunkan, memilih diam dan merenung dalam pengasingan. 


Soeharto, setelah lengser 1998, tidak pernah lagi muncul di panggung politik. Habibie, walau cendekiawan besar, tak mencoba mengatur suksesi politik pasca-reformasi. 


Gus Dur tetap kritis namun tidak cawe-cawe urusan parpol. Bahkan Megawati dan SBY, walau punya partai, tetap menjaga jarak etis dari kursi kekuasaan eksekutif setelah lengser.


Jokowi justru tampak sangat ambisius, bahkan kini menjadi kingmaker yang tak malu menunjukkan pengaruhnya di balik pencalonan anak, menantu, dan kroni-kroninya. 


Ini bukan sekadar "manusia politik", ini sudah menjurus pada premanisme politik, yakni memaksakan kehendak melalui jalur kuasa yang membajak konstitusi.


Padahal dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa pemilu harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 


Bila rekayasa hukum dilakukan untuk meloloskan dinasti kekuasaan, maka prinsip keadilan telah dilanggar. 


Putusan MK yang meloloskan Gibran adalah cermin betapa hukum bisa dibengkokkan demi ambisi kekuasaan.


Ambisi Jokowi yang ingin tetap bermain di politik pasca-presiden mencoreng semangat reformasi. Ini pula yang memancing analisa bahwa Jokowi tengah dihantui rasa takut. 


Ia takut kehilangan pengaruh, takut masa lalunya dibongkar, atau takut dinasti yang dibangunnya tumbang akibat arus demokrasi rakyat yang mulai bangkit, khususnya posisi anak sulungnya Wapres. 


Ini bukan soal menolak generasi muda masuk ke dalam kekuasaan. Peran generasi muda sangat penting dan perlu dilibatkan dalam mengatur negara, asalkan melalui proses yang berjenjang, prestasi, bukan karena aji mumpung, memanfaatkan jabatan kekuasaan.


Jika memang Jokowi negarawan sejati, semestinya ia mengambil teladan dari Presiden Abraham Lincoln, pemimpin besar Amerika Serikat yang memegang teguh prinsip demokrasi.


Lincoln pertama kali terpilih sebagai Presiden AS pada 6 November 1860 dan resmi menjabat pada 4 Maret 1861. 


Ia kemudian mencalonkan diri kembali dan menang untuk masa jabatan kedua pada 8 November 1864, di tengah kobaran Perang Saudara (Civil War).


Namun yang perlu dicatat, Lincoln tidak pernah berniat mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, meskipun saat itu tidak ada pembatasan masa jabatan presiden di konstitusi AS (pembatasan baru ditetapkan melalui Amandemen ke-22 pada 1947, pasca era Roosevelt). 


Dalam berbagai pernyataan pribadinya, Lincoln menyampaikan bahwa kekuasaan harus dijalankan sementara, demi menyelamatkan negara, bukan diwariskan atau dilanggengkan. 


Lincoln justru lebih fokus pada rekonsiliasi dan pemulihan bangsa yang terpecah, bukan memperpanjang kekuasaan atau membangun dinasti politik. 


Tragisnya, ia ditembak dan tewas pada 15 April 1865, hanya beberapa minggu setelah dilantik untuk periode keduanya. 


Namun warisannya sebagai pelindung demokrasi dan penentang penyalahgunaan kekuasaan tetap abadi dalam sejarah dunia.


Pesan Lincoln,  kekuasaan adalah amanat rakyat, bukan warisan keluarga. Dalam konteks ini, seharusnya Jokowi lebih memilih menjadi bapak demokrasi setelah lengser, bukan justru mengunci sistem agar keluarganya tetap di puncak kekuasaan.


Jokowi semestinya ingat, sejarah akan lebih lama mengingat pemimpin yang tahu kapan harus berhenti daripada mereka yang rakus kekuasaan. Sayangnya, apa yang kita saksikan hari ini justru menunjukkan sebaliknya.


Namun saya percaya, kesadaran rakyat tak akan selamanya bisa dibungkam. Perlahan tapi pasti, publik akan menyadari bahwa beban hidup yang semakin berat hari ini adalah warisan pemerintahan Jokowi. 


Dari inflasi pangan, kelangkaan pupuk, mahalnya biaya kesehatan, hingga ketidakpastian lapangan kerja yang terus menghantui.


Rakyat akan bangkit. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi keadilan dan siapa yang hanya menjadi bayangan kekuasaan yang menyalahgunakan mandat rakyat. ***

Komentar