Paradoks Keadilan: Mengapa Yang 'Dipenjara' Justru Mereka Yang Mempertanyakan Ijazah Jokowi?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Indonesia adalah negara hukum—setidaknya begitulah yang tertera di dalam konstitusi.
Namun, kenyataan di lapangan seringkali memperlihatkan paradoks yang menyakitkan.
Betapa tidak, di tengah sorotan publik terhadap sejumlah indikasi pelanggaran hukum oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), justru mereka yang mempertanyakan legalitas ijazah kepala negara itu yang berpotensi dipenjara.
Apakah ini ironi? Atau justru refleksi dari wajah asli hukum kita hari ini?
Fakta-Fakta Yang Tak Terjawab
Dalam masa dua periode pemerintahannya, Jokowi telah berkali-kali diterpa berbagai dugaan pelanggaran hukum yang nyata dan terang-terangan. Mulai dari:
- Pelanggaran konstitusi dalam cawe-cawe politik, dengan ikut mengatur pencalonan anaknya sebagai wakil presiden, dibarengi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh iparnya sendiri.
- Penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral, seperti keterlibatan aparat negara dan penggunaan dana bansos demi mendongkrak suara kandidat tertentu.
- Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dipaksakan dengan anggaran jumbo, tanpa dasar hukum yang kuat dalam pembiayaan jangka panjang, dan justru membebani APBN.
- Nepotisme akut yang menempatkan anak, menantu, hingga kolega dekat dalam posisi strategis, baik di pemerintahan maupun partai politik.
- Perusakan ekosistem demokrasi, lewat pembungkaman suara kritis, intimidasi akademisi, serta kooptasi media dan ormas.
Bila kita berbicara secara objektif dan berlandaskan prinsip equality before the law, maka fakta-fakta tersebut seharusnya cukup menjadi dasar investigasi serius.
Bahkan dalam sistem demokrasi yang sehat, seorang presiden pun tak boleh berada di atas hukum. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Siapa yang Berani, Siap-siap Ditangkap
Di tengah berbagai skandal tersebut, muncul pertanyaan tentang keaslian ijazah Jokowi.
Pertanyaan ini, entah benar atau tidak, seharusnya bisa dijawab dengan mudah oleh seorang pejabat publik: buka dokumen, tunjukkan bukti, selesai. Namun kenyataan justru mengerikan.
Orang-orang yang mempertanyakan keaslian ijazah tersebut malah dilaporkan, diancam UU ITE, bahkan ditangkap.
Mereka dituding menyebarkan hoaks, mencemarkan nama baik, atau membuat keresahan publik.
Ini menciptakan preseden buruk: transparansi dipenjara, sedangkan kebohongan dilindungi.
Bagaimana mungkin sebuah negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi, justru menghukum orang-orang yang meminta klarifikasi?
Bukankah pertanyaan adalah bagian dari hak warga negara dalam mengawasi pemerintah?
Negara Hukum Rasa Kerajaan
Apa yang kita lihat hari ini mengarah pada praktik hukum yang elitis dan represif. Hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Ia tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ia galak terhadap rakyat biasa, tapi lunak terhadap penguasa dan kroninya.
Dalam konteks ini, pertanyaan tentang ijazah Jokowi bukan hanya soal administrasi pribadi, tetapi menjadi simbol dari krisis kepercayaan dan akuntabilitas publik.
Ketika pertanyaan sederhana dijawab dengan penjara, maka negara ini sedang berjalan menuju otoritarianisme.
Penutup: Bukan Ijazah yang Jadi Masalah, Tapi Ketakutan Akan Kebenaran
Esai ini bukan untuk memvonis atau menuduh tanpa dasar. Tapi publik punya hak untuk bertanya, dan negara punya kewajiban untuk menjawab.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan disakralkan.
Sayangnya, yang terjadi hari ini justru kebalikannya: mereka yang mempertanyakan dipenjara, sementara mereka yang diduga melakukan pelanggaran hukum malah dikelilingi puja-puji.
Pertanyaannya sekarang: apa sebenarnya yang disembunyikan oleh negara hingga rakyat yang bertanya harus dibungkam? ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Cek Daftar 21 Merek Beras Premium yang Diduga Dioplos
Sebelum Tewas, Misri Sebut Ipda Haris Video Call Seseorang Tunjukkan Wajah Brigadir Nurhadi
Dibawa ke Kontrakan, Gadis Depok Nyaris Dipaksa Bersetubuh oleh Oknum Brimob: Ayolah Pasrah Aja
Tak Sulit Makzulkan Gibran