Bisakah Kita Memakzulkan Wapres Gibran? Begini Mekanismenya!

- Senin, 05 Mei 2025 | 16:55 WIB
Bisakah Kita Memakzulkan Wapres Gibran? Begini Mekanismenya!


Bisakah Kita Memakzulkan Wapres Gibran? Begini Mekanismenya!


● Muncul tuntutan untuk menggantikan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden


● Pemakzulan presiden maupun wakil presiden sangat mungkin dilakukan, menurut konstitusi


● Proses pemakzulan tidak akan mudah jika melihat konfigurasi kekuasaan dan peta politik saat ini


Nyaris 200 hari Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjalankan pemerintahan. 


Selama itu pula, tak henti-hentinya pemerintah menelurkan kebijakan kontroversial yang memaksa publik turun ke jalan untuk melakukan rangkaian aksi protes.


Kali ini tidak hanya masyarakat umum yang resah. Tuntutan juga muncul dari Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI), salah satunya soal penggantian Wapres Gibran.


Menurut mereka (dalam pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 103 Jenderal, 73 Laksamana, 65 Marsekal, dan 91 Kolonel purnawirawan TNI) Gibran tidak layak menjabat karena proses pencalonannya cacat etik serta merusak integritas Konstitusi.


Konstitusi Indonesia memang membuka ruang untuk pemakzulan pemimpin negara, baik presiden maupun wakil presiden. Namun, apakah semudah itu melengserkan Gibran?


Bisakah Wapres Dilengserkan?


Mekanisme pemakzulan sudah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). 


Pemakzulan dapat dilakukan terhadap presiden beserta wakil presiden, maupun sendiri-sendiri (presiden atau wakil presiden).


Menurut Pasal 7A, pemakzulan dapat terjadi apabila presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. 


Selain itu, mereka juga bisa dilengserkan jika muncul pendapat bahwa keduanya tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.


Artinya, apabila seorang presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran, maka sangat mungkin dimakzulkan.


Namun, Pasal 7A ini juga membuka ruang bagi interpretasi politik, khususnya terkait pelanggaran berupa “perbuatan tercela” serta pendapat bahwa “presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat.” 


Dalam praktiknya, ini dapat diartikan sebagai ketidakmampuan menjalankan tugas kenegaraan.


Frasa-frasa tersebut bersifat terbuka, sehingga penafsirannya sangat bergantung pada dinamika politik di lembaga legislatif.


Siapa yang bisa memakzulkan presiden atau wakil presiden?


Menurut Pasal 7B, mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden melalui proses politik dan hukum yang ketat, yakni harus melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlebih dahulu melalui proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).


Mekanisme tersebut mencerminkan prinsip check and balances karena ada keseimbangan peran antara lembaga legislatif, yakni DPR sebagai representasi lembaga politik; MK sebagai lembaga yudikatif yang menegakkan prinsip negara hukum; serta keputusan terakhir pada MPR sebagai cerminan dari kedaulatan rakyat.


Tak semudah itu


Meskipun Konstitusi memberi ruang pemakzulan wapres, proses pelengseran tidak serta merta mudah dilakukan dalam proses politik. Pasalnya, seluruh proses ini bergantung pada dominasi kekuasaan.


Pengajuan pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden diajukan oleh DPR ke MK sebelum nanti diberikan ke MPR untuk keputusan akhir.


Saat ini, terdapat 470 (81%) kursi di parlemen yang dikuasai mayoritas pendukung pemerintahan Prabowo–Gibran. Sisanya, sebesar 110 (19%) kursi, dikuasai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)—sebagai partai di luar koalisi Prabowo. Dari sini saja sudah terlihat bahwa peta kekuasaan politiknya sangat timpang.


Untuk bisa mengajukan ke MK, DPR harus mengantongi persetujuan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Sidang ini juga harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.


Secara hitung-hitungan, dari total 580 jumlah anggota DPR, sidang paripurna dapat dinyatakan sah apabila dihadiri minimal 387 anggota. Dalam sidang tersebut, pengajuan pemakzulannya harus disetujui sekurang-kurangnya oleh 258 anggota.


Pengajuan permintaan pemakzulan, jika dilakukan oleh satu partai oposisi, PDIP misalnya, sangat mustahil untuk dilakukan.


Secara logika politik, kalau parlemennya saja dikuasai pendukung Prabowo-Gibran, hampir tidak mungkin DPR mau mengajukan pemakzulan Gibran ke MK. Artinya, jika melihat konfigurasi kekuasaan saat ini, pemakzulan terhadap wapres nyaris mustahil untuk dilakukan.


Bahkan jika proses pengajuan tersebut diloloskan DPR ke MK, proses hukum di MK sangatlah kompleks. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus usulan DPR, atas pelanggaran hukum yang diduga dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.


Pembuktian pelanggaran hukum akan menjadi perdebatan yang rumit, karena di dalamnya akan ada proses politik.


Andaipun Gibran terbukti bersalah, keputusan akhir ada di MPR. Pengambilan keputusannya pun harus dilakukan dalam rapat paripurna MPR yang minimal dihadiri ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Sekali lagi, jika melihat konfigurasi politik di parlemen, hampir mustahil pemakzulan ini lolos.


Pertarungan hukum dan politik


Pemakzulan bukan hal baru dalam perjalanan panjang Republik Indonesia.


MPR sudah dua kali memakzulkan Presiden, yaitu terhadap Sukarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, pelengseran wapres belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.


Secara normatif, konstitusi jelas memberi ruang untuk memakzulkan Wapres. 


Namun, proses pelengseran melibatkan lebih dari sekadar pelanggaran hukum secara objektif. Ada aspek lain yang menentukan, yaitu kekuasaan dan kepentingan politik.


Kekuasaan dan kepentingan politik sering kali berperan dalam penafsiran norma hukum, sehingga proses ini sangat bergantung dengan konfigurasi politik di parlemen dan opini publik.


Hukum dapat menjadi alat politik untuk mewujudkan sesuatu yang tampaknya mustahil. Konflik politik dan hukum tidak dapat dihindari dalam situasi ini. 


Kerangka formal disediakan oleh hukum, tetapi cara penafsiran dan penerapannya ditentukan oleh politik.


Pada akhirnya, melengserkan Gibran dari posisinya sebagai Wapres memang dimungkinkan secara konstitusional. Namun, kecil kemungkinan dapat terjadi secara aktual dalam peta politik saat ini.


Publik pasti masih mengingat betapa pencalonan Gibran sangat kontroversial. 


Gibran, kubu pendukungnya, dan pengaruh ayahnya, (mantan Presiden Joko “Jokowi” Widodo) yang saat itu masih berkuasa, kuat diduga memengaruhi putusan MK agar dirinya dapat mencalonkan diri sebagai calon wapres.


Mungkin saja pemakzulan dapat lebih mudah dilakukan jika putusan MK yang meloloskan Gibran menjadi cawapres dianggap cacat. Namun, tetap saja tidak semudah itu.


Argumentasi ini pun akan terus bergulir menjadi sebuah perdebatan yang selalu diingat dan menjadi pengalaman perjalanan demokrasi Indonesia.


Sumber: TheConversation

Komentar