PARADAPOS.COM - Pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Kurnia Zakaria mendesak agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terkait dengan kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Pasalnya, berdasarkan fakta persidangan pada Kamis (17/7/2025) lalu, Erick diduga memecat Komisaris Utama (Komut) PT ASDP Indonesia Ferry, Lalu Sudarmadi setelah melaporkan potensi korupsi di perusahaan pelat merah itu kepadanya.
"Saya kira fakta persidangan tersebut jangan diabaikan Jaksa Penuntut Umum. Pemeriksaan dalam persidangan itu sebuah proses pengujian dan pembuktian fakta-fakta yang diungkap terdakwa. Maka tak ada alasan bagi Jaksa untuk tidak menyeret Erick ke meja hijau pengadilan agar kasus ini teranga benderang, " kata Kurnia kepada Monitorindonesia.com, Senin (21/7/2025).
Kurnia menegaskan bahwa fakta persidangan itu sesuatu yang terungkap dan terbukti dalam persidangan, baik yang diajukan oleh jaksa maupun terdakwa, dan menjadi dasar bagi hakim untuk membuat keputusan. "Maka harapannya ini menjadi petunjuk kepada KPK agar memperluas penyidikannya. Jangan berhenti saja pada 4 tersangka saja," tegasnya.
Pun, Kurnia menyinggung keberanian KPK memeriksa Erick Thohir di kasus dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 1.253.431.651.169 atau Rp 1,25 triliun dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP tahun 2019 hingga 2022 itu.
"Mengapa KPK tak berani periksa Erick di kasus tersebut, ada apa? Apakah cukup dengan klarifikasi KPK bahwa Erick tak mempunyai keterkaitan di kasus ini. Saya harap KPK tak pandang bulu memeriksa mereka yang diduga terlibat," harap Kurnia.
Mengapa Erick tak diperiksa?
Pada pemberitaan Monitorindonesia.com sebelumnya, bahwa KPK sempat menegaskan akan terus mendalami aliran dana yang mengalir dalam proses akuisisi tersebut.
Dalam proses penyidikan kasus di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini, sempat ada desakan agar KPK berani memeriksa Menteri BUMN Erick Thohir sebagai saksi agar kasus ini terang benderang.
Namun KPK mengklaim belum menemukan keterlibatan Erick Thohir pada kasus dugaan korupsi tersebut. “Sampai dengan saat ini belum ditemukan Keterkaitan saudara ET di perkara DJKA dan ASDP,” kata juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 30 Agustus 2024 sekaligus merespons pernyataan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto saat di periksa KPK pada Selasa 20 Agustus 2024 lalu.
Hasto saat itu membeberkan sedikit soal dana gotong royong untuk operasional rumah aspirasi pemenangan Jokowi-Maruf, sebagai Ketua TKN yakni Erick Thohir.
"Menurut keterangan saudara Adhi Dharmo yang saat itu menjadi Kepala Sekretariat Kantor (TKN) terkait pengelolaan rumah aspirasi di jalan Proklamasi, saat itu berdasarkan kebijakan dari Ketua Tim pemenangan Bapak Erick Thohir dikatakan, bahwa ada pihak-pihak sesama jajaran menteri yang kemudian bergotong royong," jelas Hasto.
Hasto mengakui kala itu dia mendapat posisi sebagai Sekretaris TKN Jokowi - Maruf Amin. Terkait pemeriksaan dia, informasi yang didapat dari Wasekjen PDIP Yoseph Aryo Darmo terkait tim pemenangan Pilpres 2019 silam.
"Itu dikaitkan dengan Pilpres 2019, dimana posisi saya saat itu sebagai Sekretaris tim pemenangan, karena terkait ada yang memberikan bantuan dan kemudian disinyalir bantuan tersebut apakah ini masih didalami oleh KPK, ada kaitannya dengan persoalan korupsi tersebut," katanya.
Sedangkan Yosep Aryo Adhi Darmo saat diperiksa KPK pada Kamis 18 Juli 2024 mengatakan pemeriksaan mengenai operasional TKN Jokowi - Maruf yang saat itu diketuai Erick Thohir dan Hasto sebagai Sekretarisnya.
Kapasitas Adhi diperiksa KPK, lantaran sebagai Kepala Sekretariat Tim Pemenangan Jokowi - Maruf. Dia menyebut pemeriksaan diduga menyangkut pertemuannya dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. "Dipanggil terkait adanya foto saya bersama Pak Budi Karya Sumadi," kata dia pada Sabtu 20 Juli 2024.
Saat diperiksa KPK, lanjut Adhi sapaan Yosep Aryo seputar operasional rumah aspirasi relawan Jokowi Maruf yang dibentuk TKN sebagai kantor sekretariat.
"Karena pembentukan Rumah Aspirasi di awal sebagaimana arahan Erick Thohir sebagai ketua tim pemenangan bahwa operasional Rumah Aspirasi di handle oleh Pak Budi Karya Sumadi. Penugasan saya menghadap Pak Budi Karya Sumadi atas perintah Bapak Hasto Kristiyanto dalam kapasitas sebagai sekretaris tim pemenangan Jokowi-Maruf Amin," jelas Adhi saat itu.
Jejak Erick Thohir
Rentan waktu korupsi yang sedang disidik KPK itu adalah tahun 2019 sampai dengan tahun 2022. Sementara Erik Thohir menjabat Menteri BUMN sejak 23 Oktober 2019 sampai saat ini. Erick Thohir diketahui menyetujui proses akuisisi Jembatan Nusantara yang kini sedang diusut KPK itu.
Persetujuan Menteri Erick ini sebagaimana dijelaskan Corporate Secretary ASDP, Shelvy Arifin saat disinggung soal proses hukum yang sedang ditangani KPK.
Bahkan jauh sebelum disetujui Menteri BUMN, rencana akuisisi sudah tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan ASDP tahun 2022, serta menjadi bagian dari Key Performance Indicator (KPI) korporasi di tahun tersebut.
Namun di lain sisi, Erick Thohir pernah menegur ASDP agar selalu inovasi mengganti kapal-kapal tua lebih baru lagi. Hal itu dikatakan Erick Thohir, setelah PT ASDP Indonesia Ferry berhasil mendapatkan dana dari aksi melantai di bursa fek Indonesia tahun 2022 lalu.
Dalam arti bahwa, dana yang diperoleh dari melantai di bursa BEI digunakan untuk mengganti kapal-kapal lebih baru. Erick Thohir menyebutkan, jika ASDP ikut dalam bursa di BEI, akan mendapatkan pendanaan dapat dimanfaat memperbaiki kapal-kapal penyebrangan.
Kapal-kapal milik ASDP rata-rata sudah cukup tua yang dinilai membahayakan keselamatan pengguna jasa, terlebih lagi setelah akusisi kapal-kapal dari PT Jembatan Nusantara.
Dengan kata lain PT ASDP Indonesia Ferry masuk bursa efek BEI seusai akusisi PT Jembatan Nusantara Menteri BUMN Erick Thohir, juga pernah berkomentar mengenai ASDP Indonesia Ferry yang telah akusisi ASDP Indonesia Ferry.
Erick Thohir mengatakan akuisisi dari kapal-kapal tua hingga hutang-hutangnya tembus 600 miliar menambah pengadaan kapal 53 unit armada dengan total 219 unit kapal.
Dalam perkembangan kasus ini, KPK mengungkap adanya pembelian 53 kapal yang dilakukan ASDP Indonesia Ferry dari Jembatan Nusantara. Semuanya dibeli dalam kondisi bekas, padahal, dana yang disiapkan bisa untuk mendatangkan unit baru. Proses akuisisi ini bukan cuma pembelian kapal bekas. ASDP Indonesia Ferry turut diberikan utang Jembatan Nusantara sebesar Rp600 miliar.
Merujuk pernyataan KPK sebelumnya. Bahwa Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto menegaskan, bila penyidik menemukan alat bukti atau keterangan yang diperlukan untuk diklarifikasi terhadap semua saksi maka akan dilakukan pemanggilan saksi yang dimaksud.
Di mana, pemanggilan bertujuan untuk mengusut kasus korupsi di perusahaan pelat merah tersebut. "Semua pihak yang dibutuhkan keterangannya untuk mengklarifikasi alat bukti itu tentu akan dipanggil oleh penyidik," kata Tessa.
Bahkan, KPK juga tidak memandang jabatan dalam pemeriksaan saksi dalam kasus tersebut. Untuk membuat terang kasus ini, tentunya KPK semestinya memeriksa saksi-saksi dianggap mengetahuinya, termasuk Erick Thohir.
“(Kami, red) tidak melihat jabatan, tidak melihat siapa pun. Kalau memang kebutuhannya adalah dalam rangka penguatan unsur perkara yang sedang ditangani, semua saksi yang diduga terlibat dan dibutuhkan keterangannya akan dipanggil," tegas Tessa.
Saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Sabtu (31/8/2024) kemarin, soal apakah KPK telah melakukan penyelidikan menyoal kewenangan Erick Thohir dalam akuisisi tersebut. Tessa belum bisa menjawabnya, sebab itu ranah penyidikan. "Saya tidak punya akses info di pengaduan masyarakat dan penyelidikan. Jadi belum bisa menjawab pertanyaan di atas," tegas Tessa.
Sementara Erick sendiri mengatakan, pihaknya sangat mendorong tata kelola atau good corporate governance serta kerja sama dengan penegak hukum. Namun, Ia juga menghormati masing-masing individu untuk memperjuangkan haknya.
"Saya tidak mau berpikiran positif negatif, biarkan mekanisme ini berjalan dengan baik," kata Erick di gedung DPR RI Jakarta, Senin (2/9/2024).
Erick mengungkapkan, dalam pengembangan usaha suatu perusahaan pasti ada standar operasional prosedur (SOP). Pihaknya pun selalu mencoba melakukan dengan prosedural yang baik termasuk dengan pendampingan dari pihak BPKP dan pihak kejaksaan. "Ya biarkan saja mekanisme itu terjadi," pungkasnya.
Fakta persidangan
Lalu Sudarmadi saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Duduk di kursi terdakwa adalah mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, eks Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, dan mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Muhammad Yusuf Hadi.
"Saksi pernah ada melaporkan kepada pihak Kementerian BUMN terkait kerja sama ASDP dengan PT JN ini? Betul ya?" tanya Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 17 Juli 2025.
Sudarmadi lantas membenarkan. Jaksa lalu bertanya, apakah dia mengirimkan surat kepada Menteri BUMN. "Ada, laporan," kata Sudarmadi.
JPU KPK kembali bertanya, "bisa dijelaskan enggak laporan itu terkait kerja sama PT ASDP dengan PT JN, apa yang dilaporkan waktu itu?"
"Sebenarnya kami informal saja mau melaporkan melalui Deputi (Kementerian BUMN)-nya dulu," jawab Sudarmadi. Deputi tersebut lantas mengarahkan agar ia membuat laporan. "Sebenarnya kami melaporkan bahwa proses KSU menjadi akuisisi ini akan berisiko, itu saja intinya, karena kami pernah menolak 2016."
Jaksa lantas menunjukkan sebuah surat. "Betul suratnya seperti ini? Perihal laporan kepada Mnteri BUMN saat itu Pak Erick Thohir?"
"Iya," ujar Sudarmadi.
JPU kembali bertanya "terkait kerja sama ASDP dengan PT JN?"
Sudarmadi lagi-lagi mengiyakan. Dia menuturkan, Dewan Komisaris ASDP tidak diberikan informasi ihwal kerja sama ini secara maksimal. Mereka baru mengetahui saat diundang dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (mount of understanding/MoU) antara PT ASDP dengan PT Jembatan Nusantara.
Kendati demikian, sebelumnya direksi telah menyampaikan konsep naskah untuk dipelajari Komisaris agar dapat memberikan saran. Namun, masukan tersebut tidak terpenuhi.
"Dari surat PT JN tersebut, nampaknya apa yang dikemukakan Dirut akan menguntungkan ASDP, hanya sebagai rencana yang tidak akan tercapai dan berpotensi menimbulkan kerugian serta tindakan memperkaya badan atau orang lain," ujar Sudarmadi.
Dia menduga, kerja sama usaha tersebut sebagai jalan untuk mengakuisisi atau membeli membeli kapal bekas PT Jembatan Nusantara. Dirinya juga melaporkan kepada Erick Thohir bahwa pada rapat umum pemegang saham (RUPS) 2016 lalu pihaknya telah menolak akuisisi perusahaan swasta itu.
Sudarmadi mengatakan, laporan tersebut terkirim pada Maret 2020. Sebulan kemudian dia dicopot dari posisi Komisaris Utama ASDP.
"Kemudian yang tadi sebagaimana disampaikan di awal persidangan, April 2020 tiba-tiba saksi diberhentikan sebagai komisaris?" tanya Jaksa KPK.
Sudarmadi menjelaskan, dengan menyampaikan laporan tersebut, dia dipanggil untuk menjelaskan. Tapi, dia justru dipanggil untuk menjelaskan.
"Waktu ada serah terimanya itu, tidak dijelaskan alasannya," ujarnya.
JPU KPK kembali bertanya, "pernah enggak dijelaskan, saksi mempertanyakan alasan diberhentikan?" Sudarmadi menuturkan, serah terima jabatannya itu terjadi saat awal pandemi Covid-19. Sehingga, acara itu berlangsung secara daring.
Saat itu, ia meminta penjelasan oleh Deputi Kementerian BUMN. Dia pun mendapat jawaban bahwa ini hanya penataan, dan dirinya akan dicarikan tempat lain karena berprestasi.
Terdakwa
Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi, serta Harry Muhammad Adhi Caksono selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020–2024 dan Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019–2024 menjadi terdakwa dalam perkara ini.
Jaksa KPK menuding Ira, Harry, dan Muhammad Yusuf telah merugikan keuangan negara senilai Rp 1.253.431.651.169 atau Rp 1,25 triliun dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP tahun 2019 hingga 2022.
Kerugian keuangan itu terdiri dari nilai pembayaran saham akuisisi saham PT JN sebesar Rp 892 miliar, pembayaran 11 kapal afiliasi PT JN sebanyak Rp 380 miliar, serta nilai bersih yang dibayarkan ASDP kepada pemilik dan beneficial owner PT Jembatan Nusantara, Adjie, dan perushaaan afiliasi senilai Rp 1,272 triliun.
Jaksa mengatakan, modus dugaan korupsi yang dilakukan para terdakwa adalah dengan mengubah surat keputusan direksi. Ini bertujuan mempermudah pelaksanaan kerja sama usaha antara PT ASDP dan PT Jembatan Nusantara.
Para terdakwa juga diduga meneken perjanjian kerja sama pengoperasian kapal antara kedua perusahaan tersebut. Padahal, belum ada persetujuan dari dewan komisaris. Perjanjian kerja sama itu juga diduga tidak mempertimbangkan risiko yang disusun oleh VP Manajemen Risiko dan Quality Assurance.
Ketiga petinggi ASDP itu juga diduga tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT Jembatan Nusantara dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli.
Mereka dinilai mengkondisikan penilaian terhadap 53 kapal PT JN. Selain itu, ketiganya dituding mengabaikan hasil uji tuntas teknik engineering due diligence PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) terkait untuk tidak mengakuisisi 9 kapal yang tidak layak.
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sumber: monitor
Artikel Terkait
SKANDAL Kuota Haji 2024: Belum Juga Dipanggil KPK, Siapa Bekingan Yaqut?
Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Bogor
Kasus Tom Lembong Dibandingkan Dengan Private Jet Kaesang, Pakar: Kasus Dahsyat Tak Diurus Negara!
Divonis Korupsi Tapi Niat Jahat Tak Terbukti? Ini Kata Pengamat Soal Vonis Tom Lembong Yang Bikin Banyak Pihak Bingung!