Belum Terbukti Palsu atau Asli: Ijazah Jokowi Masalah Sangat Serius!

- Selasa, 13 Mei 2025 | 04:55 WIB
Belum Terbukti Palsu atau Asli: Ijazah Jokowi Masalah Sangat Serius!


Belum Terbukti Palsu atau Asli: 'Ijazah Jokowi Masalah Sangat Serius!'


Oleh: AS Laksana


Ijazah itu belum terbukti palsu, tapi juga belum dibuktikan asli. Mereka yang membela keaslian ijazah, atau membela Jokowi, atau membela keaslian ijazah dan Jokowi sekaligus, tidak bisa memastikan apakah ijazah itu asli. 


Yang meragukan keasliannya juga tidak bisa membuktikan kebenaran klaimnya—mereka tidak diberi akses untuk menguji apakah tudingan mereka benar atau keliru.


Tudingan mengenai keaslian ijazah Pak Jokowi pertama kali muncul pada Januari 2019. 


Umar Kholid Harahap, melalui akun Facebook-nya, menuduh bahwa ijazah SMA Jokowi palsu, dengan pernyataan bahwa SMA Negeri 6 Solo baru berdiri pada 1986, sedangkan Jokowi lulus pada 1980. Artinya, ia lulus sebelum SMA-nya ada.


Polisi menyatakan itu hoaks dan menetapkan Umar sebagai tersangka atas penyebaran berita bohong, meskipun ia tidak ditahan, dan kasusnya tidak berlanjut di pengadilan. Umar hanya dikenai wajib lapor tiap Senin dan Kamis.


Menurut informasi, SMA 6 sudah berdiri pada 1975, tetapi dengan nama SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan). Ia baru menjadi SMA 6 pada 1986.


***


Isu ijazah memanas lagi pada Oktober 2022. Bambang Tri Mulyono, yang pernah divonis penjara 3 tahun karena bukunya Jokowi Undercover, menggugat Jokowi ke PN Jakarta Pusat dengan tuduhan Jokowi menggunakan ijazah palsu saat mendaftar Pilpres 2019. 


Namun, gugatan ini dicabut setelah Bambang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran. Tuduhan itu didasarkan pada siaran podcast-nya di Youtube bersama Sugi Nur Rahardja (Gus Nur). 


Pengadilan Negeri Solo menjatuhkan vonis 6 tahun penjara untuk keduanya, lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa 10 tahun. 


Hukuman untuk Sugi Nur Rahardja berkurang menjadi empat tahun setelah banding di Pengadilan Tinggi Semarang. 


April tahun ini Sugi sudah dibebaskan setelah menjalani 2/3 masa hukumannya.


Agak menarik jika kita membandingkan kasus Umar Kholid Harahap dan Bambang Tri. 


Keduanya sama-sama menuding ijazah Jokowi palsu, tetapi mereka dijerat dengan pasal-pasal yang berbeda. 


Ancaman sanksi pidana untuk mereka juga berbeda. Jadi, apa yang membedakan keduanya? Tafsir polisi.


Bambang Tri dan Sugi dinyatakan terbukti bersalah, dan dihukum penjara, bukan karena tuduhan mereka terbukti keliru, tetapi karena tindakan mereka dinilai membuat onar.


Dan siapa yang menilai tindakan itu membuat onar? Negara.


Artinya, tudingan “ijazah palsu” tidak dinilai sekadar tuduhan administratif. Ia dibaca sebagai perbuatan yang bisa menggoyahkan legitimasi kekuasaan. 


Karena itu, negara memutuskan meredamnya, tidak dengan membuktikan bahwa ijazah itu asli, tetapi dengan menggeser topiknya dan kemudian menjatuhkan hukuman.


***


Dengan kata lain, Bambang Tri diadili bukan karena ia menyebarkan data palsu. Ia dihukum karena tidak mempercayai cerita versi negara tentang Pak Jokowi.


Dan cerita versi negara itu adalah:


1. Pak Jokowi adalah lulusan UGM.

2. Dokumennya sah.

3. Tidak ada alasan meragukannya.

4. Siapa pun yang mengatakan hal sebaliknya berarti sedang membuat onar.


Jadi, seseorang dianggap “menyebarkan berita bohong” karena ia menentang cerita versi negara, mengganggu pertalian emosi antara Jokowi dan para pendukungnya, dan itu menyebabkan instabilitas emosional.


***


Saat Bambang Tri mengajukan gugatan ijazah pada Oktober 2022, dan ketika kasusnya kemudian dibelokkan ke tuduhan membuat onar, Jokowi masih berada dalam zona aman popularitasnya. 


Isu tentang ijazah, yang secara substansi sangat serius, tenggelam karena suasana belum memungkinkan publik untuk memprosesnya sebagai isu penting.


Kita bisa saja menganggap ijazah bukan isu penting, apalagi dalam beberapa tahun terakhir kita terpapar informasi bahwa perusahaan raksasa seperti Google, Tesla, dan sebagainya semakin membuka diri terhadap gagasan bahwa kecakapan seseorang tidak harus dibuktikan lewat ijazah. 


Di samping itu, kita juga melihat banyak contoh keberhasilan pada orang-orang tanpa gelar.


Tapi itu di wilayah privat. Untuk jabatan presiden, sistem kita tidak menyediakan ruang bagi logika tersebut. 


Undang-undang mensyaratkan pendidikan minimal untuk kandidat, bukan karena negara meyakini bahwa hanya lulusan sekolah formal yang cakap memimpin, namun karena ijazah adalah bukti administratif bahwa seseorang telah menempuh jalur resmi yang diakui negara. 


Ia tidak menjadi ukuran kemampuan, tetapi bukti resmi untuk melacak proses pengembangan diri seseorang.


Dan karena pemilu adalah proses hukum, bukan sekadar perjanjian sosial, dokumen legal seperti ijazah diperlukan sebagai syarat keabsahan administratif. 


Inilah yang membedakan Google dan Tesla dari Komisi Pemilihan Umum.


Kita bisa mengatakan “yang penting kapabilitas, bukan ijazah” dalam konteks dan logika pasar. Namun negara—apalagi jabatan publik—diatur oleh logika hukum. 


Dan dalam logika itu, ijazah bukan bukti kecerdasan, melainkan prasyarat legal. Ia menyangkut keabsahan identitas administratif seorang kepala negara. 


Jadi, isu ijazah ini serius?


Sangat serius. Jika benar seorang presiden menggunakan dokumen palsu saat mendaftar dalam pemilu, orang bisa mempertanyakan seluruh proses pemilihannya, termasuk keabsahan keputusan yang ia tanda tangani, kebijakan yang ia buat, dan jabatan yang ia dapatkan. Tapi ini wilayah ahli hukum tata negara.


***


Pada 2022, tuduhan “ijazah palsu” oleh Bambang Tri, yang memiliki reputasi kontroversial dengan bukunya Jokowi Undercover, masih terasa seperti gangguan yang mungkin tidak cukup pantas digubris oleh nalar publik saat itu. 


Publik sendiri sebagian besar masih menilai bahwa ia hanya pembuat onar. Cocok dengan versi negara.


Namun, waktu berjalan dan suhu politik berubah. Waktu dan suhu politik, dalam hal-hal seperti ini, bukan latar yang pasif. 


Sesuatu yang semula tidak digubris bisa menjadi ledakan kuat ketika waktu berjalan dan suhu politik berubah.


Memasuki tahun terakhir masa jabatannya, sebagian pendukung fanatiknya merasa dilukai. 


Orang-orang yang dulu membelanya mati-matian kini menjadi pengungkap keganjilan, seolah berusaha menebus rasa bersalah karena pernah ikut membesarkan figur yang kini mereka anggap mengkhianati idealisme awal. 


Citra Jokowi retak bukan karena serangan dari luar, melainkan karena terjadinya benturan antara harapan yang dulu ditanam dan kenyataan yang mengungkap dirinya sendiri.


Maka, isu ijazah kini menemukan momentumnya. Dan itu bukan semata-mata pertanyaan tentang keabsahan sebuah dokumen; ia berkaitan dengan pertanyaan yang lebih besar: Apakah kita selama ini telah menaruh harapan pada sebutir telur yang retak sejak awal? 


Tuduhan kepalsuan ijazah, yang dulu dianggap serangan pribadi oleh pembenci, kini dibaca sebagai sinyal yang sangat meresahkan.


Dalam situasi seperti ini, persoalan tampaknya tidak lagi sekadar pembuktian tentang asli atau palsu ijazah itu. 


Bahkan kalaupun Pak Jokowi akhirnya menunjukkan bahwa ijazahnya asli, saya tidak yakin itu akan serta-merta memperbaiki apa yang telanjur retak. 


Bagi orang-orang yang pernah mendukungnya, bukan dokumen itu yang menyebabkan luka, tetapi kepercayaan yang pernah mereka berikan tanpa syarat kepada Pak Jokowi.


Tapi, saya pikir bagus juga Pak Jokowi membawa urusan ini ke pengadilan, dan di sana ia nanti membuktikan keaslian ijazahnya. 


Setidaknya satu urusan selesai, meskipun keaslian ijazah tidak akan pernah menyembuhkan luka pada orang-orang yang merasa dikhianati, orang-orang yang dulu adalah pendukung setianya. ***

Komentar