Mencari Jejak LBP: Chromebook Berdarah di Tengah Korupsi Rp9,9 Triliun

- Minggu, 01 Juni 2025 | 06:00 WIB
Mencari Jejak LBP: Chromebook Berdarah di Tengah Korupsi Rp9,9 Triliun


Mencari Jejak LBP: 'Chromebook Berdarah di Tengah Korupsi Rp9,9 Triliun'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Pada suatu siang yang teduh awal Mei 2025, beberapa penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tampak keluar masuk gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di kawasan Sudirman, Jakarta. 


Mereka membawa sejumlah dokumen pengadaan laptop, terutama merek Chromebook, yang pengadaannya dilakukan sepanjang 2019 hingga 2023. 


Di sinilah babak baru dari kisah pengadaan barang negara itu dimulai—sebuah cerita besar tentang teknologi, pendidikan, dan kekuasaan.


Penyelidikan Kejaksaan Agung menemukan adanya dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Chromebook yang nilainya mencapai Rp9,9 triliun. 


Program ambisius ini seolah menjadi bukti bagaimana teknologi digunakan sebagai tameng modernisasi, sementara di baliknya tersembunyi hasrat menumpuk keuntungan pribadi.


Dari Chromebook ke Kasus Kolosal

Program digitalisasi sekolah yang dikawal langsung oleh Mendikbudristek kala itu, Nadiem Anwar Makarim, didesain untuk mengangkat kualitas pembelajaran siswa di daerah tertinggal. 


Namun, seorang pejabat Kemendikbud yang enggan disebutkan namanya, menyebutkan kepada media bahwa sejak awal proyek itu terindikasi dipaksakan.


“Kami sudah beri masukan, jangan pakai Chromebook. Daerah-daerah itu sinyalnya payah, jaringan terbatas, dan guru tidak terbiasa. Tapi keputusan sudah diambil di atas,” ujarnya.


Sumber internal menyebut tekanan datang dari dua mantan staf khusus Nadiem, Fiona Handayani dan Jurist Tan. 


Mereka diduga mendorong perubahan spesifikasi dari Windows ke sistem operasi milik Google itu, dengan alasan efisiensi dan kompatibilitas global. 


Padahal, menurut hasil uji coba pilot project di lima kabupaten, Chromebook dinilai gagal berfungsi optimal.


Jaksa Agung kemudian memanggil keduanya sebagai saksi. Namun, penyelidikan tidak berhenti pada level teknokrat kementerian. Nama besar pun ikut disebut—Luhut Binsar Pandjaitan.


Jejak Luhut di Laptop Murid

Adalah PT Zyrexindo Mandiri Buana Tbk (ZYRX), produsen lokal laptop yang memperoleh proyek pengadaan sebanyak 165 ribu unit laptop senilai Rp700 miliar. 


Perusahaan ini diketahui memiliki keterkaitan langsung dengan Luhut. 


Berdasarkan laporan keuangan publik yang kami telusuri, Luhut memiliki 51% saham di perusahaan tersebut melalui jaringan bisnisnya.


“Bukan kebetulan. Zyrex dipilih, lalu tiba-tiba semua kebijakan teknis berubah, seolah disesuaikan untuk memenuhi spesifikasi Zyrex,” ujar seorang mantan pejabat pengadaan di Kemendikbud.


Salah satu modus yang dicurigai oleh penyidik adalah markup harga. 


Dalam pengadaan Chromebook itu, harga satu unit laptop disebut mencapai Rp9 juta, padahal harga pasar hanya sekitar Rp4-5 juta per unit. 


Bahkan menurut audit internal yang bocor ke media, ditemukan perbedaan spesifikasi antara dokumen kontrak dan produk yang diterima di lapangan.


Istana yang Diam

Hingga laporan ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Luhut maupun Nadiem. 


Keduanya bungkam. Staf khusus Presiden dan Mantan Mendiknas itu  hanya mengatakan, “Semua proses hukum harus kita hormati.” 


Namun keheningan itu semakin menegaskan kekhawatiran banyak kalangan: apakah penegakan hukum mampu menjangkau elit istana?


Sementara itu, di ruangan Kejaksaan Agung, para penyidik terus memeriksa dokumen-dokumen tender dari ratusan sekolah penerima bantuan. 


Beberapa kepala sekolah bahkan telah dimintai keterangan mengenai kualitas perangkat yang mereka terima. 


Mayoritas menyebut laptop tidak bisa digunakan karena butuh koneksi internet stabil dan fitur-fitur yang tidak sesuai kebutuhan belajar.


“Anak-anak kami jadi seperti korban. Laptop mahal, tapi hanya jadi pajangan,” ujar salah satu kepala sekolah di daerah pedalaman Nusa Tenggara Timur.


Sistem yang Bobrok

Kasus ini sekali lagi menunjukkan bagaimana proyek strategis nasional dapat menjadi bancakan segelintir elit politik dan pengusaha. 


Semangat transformasi digital berubah menjadi transaksi gelap, dan semangat pendidikan tergantikan oleh hasrat akumulasi.


Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, “Ini bukan sekadar kasus korupsi, tapi cermin dari sistem pemerintahan yang terlalu sentralistik dan nepotistik. Siapa pun dekat dengan kekuasaan, bisa menyentuh anggaran publik dengan mudah.”


Nadiem memang bukan politisi, tapi ia bagian dari kabinet. Luhut bukan pejabat Kemendikbud, tapi ia berada di jantung kekuasaan. Keduanya bukan sembarang nama. 


Dan justru karena itu, pertanyaan publik semakin besar: akankah kasus ini berujung seperti banyak kasus besar lainnya—sunyi senyap di tengah jalan? ***


Sumber: FusilatNews

Komentar