PARADAPOS.COM - Wakil Presiden Gibran Rakabuming diminta Presiden Prabowo Subianto berkantor di Papua. Hal itu menuai sorotan.
Jurnalis Investigasi Dandhy Laksono mengingatkan bagaimana masyarakat adat di Papua melawan perampasan tanah adat.
Seperti yang dilakukan orang Awyu dan Mappi, dan masyarakat adat lainnya.
βAda 1.400 salib merah yang sudah ditancapkan orang Awyu di Mappi dan Boven Digoel. Disusul orang Marind dan Yei di Merauke,β kata Dandhy dikutip dari unggahannya di X, Kammis (10/7/2025).
Penancapan 1.400 salib orang Awyu itu dilakukan sejak 2016.
Sebagai simbol melawan perampasan tanah adat.
Selain itu, Dandhy juga membeberkan acara adat di Kurinbin.
Mereka membunuh puluhan babi sebagai pengingat bahaya pengrusakan tanah dan hutan mereka.
βLalu orang Muyu membunuh 26 babi dalam acara adat di Kurinbin, sekaligus pengingat akan datangnya orang-orang rakus yang mengincar tanah dan hutan mereka,β papar Dandhy.
ππ
TAGS
Mandat Papua di Tangan Gibran: Lanjutkan Proyek atau Buka Dialog? Ini 4 PR Besar yang Menantinya
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi mengemban tugas raksasa yakni memimpin percepatan pembangunan di Papua.
Mandat yang disebut-sebut datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto ini bukan sekadar tugas administratif, namun sekaligus menguji kemampuannya dalam mengurai berbagai kompleksitas permasalah di wilayah ujung timur Indonesia itu.
Menyitat laman BBC Indonesia, Kamis (10/7/2025), keseriusan penugasan ini digambarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang mengisyaratkan Gibran mungkin akan lebih banyak bekerja langsung dari Tanah Papua.
"Saya kira ini pertama kali presiden akan memberikan penugasan untuk menangani masalah Papua. Bahkan kantor wakil presiden juga akan ada di Papua, supaya wakil presiden itu bekerja dari Papua sembari menangani masalah Papua," kata Yusril.
Namun, Gibran tidak akan memulai dari lembaran kosong.
Ia mewarisi lanskap Papua yang penuh dengan luka sejarah, proyek mercusuar yang meninggalkan jejak kerusakan, dan suara-suara perlawanan yang tak kunjung padam.
Keberhasilannya tidak akan diukur dari berapa banyak jalan atau gedung yang dibangun, tetapi dari kemampuannya menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) besar yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumnya.
Berikut adalah empat PR krusial yang harus dijawab Gibran jika ingin mandatnya di Papua berhasil.
1. Mengubah Paradigma: Dari Proyek Jadi Partisipasi
Pemerintahan Presiden Jokowi dikenal sangat getol membangun infrastruktur di Papua, mulai dari Jalan Trans Papua hingga stadion megah. Jokowi berulang kali menegaskan visinya.
"Saya sampaikan bahwa pembangunan Indonesia sekarang bukan Jawa-sentris, tetapi Indonesia-sentris, dan Tanah Papua menjadi prioritas dari pembangunan yang kita lakukan," ujar Jokowi pada 2023 lalu.
Namun, di lapangan, pembangunan ini seringkali terasa top-down dan mengabaikan subjek utamanya: Orang Asli Papua (OAP).
Kisah Kaspar Kahol dan Yasinta Moiwend dari Wanam, Papua Selatan, adalah bukti nyata.
Hutan adat tempat mereka berburu dan mencari makan tiba-tiba masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) lumbung pangan tanpa ada dialog.
"Kami mau aktivitas cari makan ke mana? Kami berharap ke siapa?" keluh Kaspar. "Kalau sudah digusur semua, kami mau mencari ke mana? Setelah satu [hutan] digusur, pasti dia [pemerintah] akan gusur semuanya," ujarnya.
Rasa sakit hati dan kekecewaan juga dirasakan Yasinta.
"Kok tiba-tiba masuk seperti pencuri?" tanyanya.
PR pertama Gibran adalah mengubah pendekatan ini.
Ia harus memastikan setiap proyek pembangunan tidak hanya megah secara fisik, tetapi juga lahir dari musyawarah dan partisipasi aktif masyarakat adat, bukan menjadikan mereka penonton di tanahnya sendiri.
2. Menjawab Tuntutan Dialog, Bukan Hanya Operasi Militer
Selama bertahun-tahun, pendekatan keamanan menjadi respons utama Jakarta terhadap gejolak di Papua.
Ribuan tentara dikirim, pos-pos militer didirikan, dan label separatis mudah disematkan.
Namun, pendekatan ini terbukti gagal memadamkan api konflik.
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat β Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sembom, dengan tegas menyangsikan langkah pemerintah.
Ia menyebut "percuma." Menurutnya, kunci penyelesaian masalah ada di meja perundingan.
"Dengan mengedepankan operasi militer, justru pemerintah Indonesia sendiri yang mempercepat Papua [untuk] merdeka," kata Sebby.
Ia menegaskan, apa pun keputusan pemerintah pusat soal Papua "akan berakhir percuma selama perundingan tidak dilakukan."
PR kedua Gibran adalah memiliki keberanian untuk membuka ruang dialog yang tulus dan setara.
Ini sejalan dengan pandangan peneliti BRIN, Adriana Elisabeth, yang menyebut dialog adalah satu-satunya cara damai.
"Negosiasi itu mendengar. Mendengar apa keberatannya orang Papua. Apa persoalannya? Kenapa negara melakukan ini? Kenapa orang Papua selalu menolak?" kata Adriana.
3. Menyelesaikan 'Dosa' Lingkungan dan Pelanggaran HAM
Pembangunan masif di era Jokowi ternyata meninggalkan konsekuensi ekologis yang tidak kecil. Laporan Auriga Nusantara mengungkap, periode pertama pemerintahan Jokowi (2015-2019) menyumbang deforestasi paling banyak, mencapai hampir 300 ribu hektare.
Ekspansi perkebunan sawit dan proyek lumbung pangan mengancam ekosistem dan hutan adat.
Di sisi lain, pendekatan keamanan juga menyisakan luka pelanggaran HAM.
Data dari TAPOL menunjukkan, antara 2019 hingga 2023, lebih dari 300 orang Papua ditangkap dengan tuduhan makar.
PR ketiga Gibran adalah membuktikan bahwa pembangunan kali ini tidak akan mengorbankan lingkungan dan hak asasi manusia.
Ia harus berani melakukan audit lingkungan terhadap proyek-proyek yang berjalan dan memastikan tidak ada lagi kriminalisasi terhadap warga yang menyuarakan pendapatnya.
4. Membuktikan Kualifikasi di Tengah Skeptisisme
Penunjukan Gibran tak lepas dari skeptisisme. Pengalamannya yang relatif baru di panggung politik nasional membuat banyak pihak meragukan kemampuannya menangani isu sepelik Papua.
Keraguan ini disuarakan langsung oleh TPNPB-OPM.
"Apa kualifikasinya untuk selesaikan masalah di Papua? Tidak mungkin berhasil," cetus Sebby Sembom.
PR keempat dan mungkin yang paling personal bagi Gibran adalah membuktikan bahwa ia mampu.
Ini bukan lagi soal melanjutkan program pendahulunya, seperti yang pernah dilakukan Wapres Ma'ruf Amin sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Ini adalah tentang menciptakan terobosan.
Gibran harus turun langsung, mendengar, dan merasakan denyut nadi masyarakat Papua.
Bukan hanya dalam kunjungan seremonial, tetapi dalam dialog-dialog substantif yang mungkin tidak nyaman.
Pada akhirnya, suara perlawanan dari masyarakat adat seperti Yasinta Moiwend akan menjadi tolok ukur keberhasilannya.
"Sampai kapan pun, saya akan melawan. Saya akan melawan. Dan kami tidak akan rela untuk berikan tanah kami," tegas Yasinta.
Sumber: Fajar
Artikel Terkait
Kok KPK Lambat Menangkap Malingnya?
Membongkar Locked-Room Mystery Diduga Modus Kematian Arya Daru: Saat TKP Berbicara Bohong!
Mabuk, WN China Bawa Kabur Mobil Polisi Usai Tabrak Kendaraan di Jakpus
Viral Pemotor Bonceng Jenazah di Donggala, Potret Mirisnya Infrastruktur