Di tengah kobaran api konflik antara Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah atau PWI-LS dan Front Persaudaraan Islam (FPI) di Pemalang, satu nama mencuat sebagai motor penggerak perlawanan yakni KH Abbas Billy Yachsy, atau yang akrab disapa Gus Abbas.
Sosoknya yang tegas dan berani menantang narasi nasab Ba'Alawi yang selama ini dianggap mapan, memicu pertanyaan besar di kalangan publik terutama kalangan anak muda.
Siapakah sebenarnya Gus Abbas? Mengapa seorang kiai dari Cirebon bisa menjadi figur sentral dalam sebuah isu yang begitu sensitif dan berujung pada bentrokan fisik?
Jawabannya terletak pada garis keturunan, visi keagamaan, dan keberaniannya yang tak main-main.
Gus Abbas bukanlah figur yang muncul tiba-tiba.
Ia adalah cucu dari KH Abdullah Abbas, seorang ulama legendaris dan pahlawan nasional dari Pondok Pesantren Buntet, Cirebon.
Lebih dari itu, jika ditelusuri silsilahnya, Gus Abbas merupakan keturunan langsung dari Syekh Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa (Walisongo).
Garis keturunan inilah yang menjadi salah satu fondasi legitimasi gerakannya.
Ia memposisikan dirinya bukan sekadar sebagai penentang, melainkan sebagai pewaris sah ajaran Walisongo yang merasa terpanggil untuk meluruskan apa yang ia anggap sebagai penyimpangan.
Baginya, ajaran Walisongo yang egaliter dan menyatu dengan budaya Nusantara terancam oleh "doktrin-doktrin yang tidak benar".
Dalam sebuah kesempatan, Gus Abbas secara vokal menyuarakan keresahannya terkait apa yang ia sebut sebagai ancaman terhadap nasionalisme.
Keresahan Gus Abbas tidak berhenti di ruang diskusi. Ia mewujudkannya dalam sebuah gerakan konkret dengan mendirikan dan memimpin PWI-LS.
Ormas yang dideklarasikan pada Oktober 2023 ini menjadi kendaraan perjuangannya untuk secara terbuka menentang klaim nasab Ba'Alawi.
Langkah-langkah yang diambil Gus Abbas bersama PWI-LS terbilang berani dan kontroversial:
Bagi para pengikutnya, Gus Abbas adalah seorang panglima yang gagah berani, seorang "cicit" Sunan Gunung Jati yang bangkit untuk menjaga warisan leluhurnya.
Namun, bagi pihak seberang, tindakannya dianggap sebagai provokasi yang memecah belah umat dan tidak menghormati zuriah (keturunan) Nabi.
Sosok Gus Abbas merepresentasikan sebuah dilema dalam lanskap keislaman Indonesia.
Di satu sisi, ia adalah representasi dari gerakan "pribumisasi" Islam yang ingin menegaskan kembali nilai-nilai egaliter dan menolak adanya "kasta" berdasarkan garis keturunan. Ia menuntut pembuktian ilmiah di atas klaim historis yang turun-temurun.
Namun di sisi lain, metodenya yang konfrontatif dan membawa perdebatan intelektual ke ranah aksi massa terbukti sangat riskan dan berpotensi memicu konflik horizontal, seperti yang terjadi di Pemalang.
Kritikusnya berpendapat bahwa cara-cara seperti ini justru menjauhkan umat dari esensi ajaran Islam yang damai dan penuh rahmat.
Terlepas dari pro dan kontra, satu hal yang pasti ialah Gus Abbas telah berhasil memaksa seluruh pihak untuk membicarakan kembali isu yang selama puluhan tahun dianggap tabu.
Sumber: suara
Foto: Gus Abbas/Net
Artikel Terkait
Rp11,30 Triliun Dana Asing Kabur dari Indonesia Pekan Ini
Apa Itu Sound Horeg? Mengenal Fenomena Bass Perontok Genteng Ciptaan Edi Sound
Kompolnas: HP Arya Daru Hilang Belum Ditemukan, Terakhir Terlacak di Lokasi Ini
Sampai Temannya Memohon, Jokowi Tak Pernah Mau Masuk Grup WA Alumni