Letjen Kunto Masuk Kotak, Kajian Politik Merah Putih: Diduga Disebabkan Sikap Try Sutrisno Minta Pemakzulan Gibran

- Kamis, 01 Mei 2025 | 00:15 WIB
Letjen Kunto Masuk Kotak, Kajian Politik Merah Putih: Diduga Disebabkan Sikap Try Sutrisno Minta Pemakzulan Gibran


Perombakan di tubuh TNI kembali memantik perbincangan panas, bukan hanya di kalangan militer, namun juga di ranah politik nasional. Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo resmi digeser dari posisinya sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Perubahan ini, meski terlihat teknokratis di permukaan, menyimpan potensi makna politik yang lebih dalam.

Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih, menyebut penempatan Kunto sebagai Staf Khusus KSAD sebagai bentuk “masuk kotak”. Ia menilai mutasi ini bukan promosi, tetapi semacam langkah pembekuan karier. “Ini sinyal kuat dari Istana, bahwa ada pesan politik yang hendak ditegaskan,” kata Sutoyo kepada www.suaranasional.com, Kamis (1/5/2025).

Konteks menjadi menarik ketika mengaitkannya dengan sikap tegas ayah Kunto, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI, dalam beberapa bulan terakhir tampil ke publik sebagai bagian dari Forum Purnawirawan TNI yang menyerukan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

“Apa yang dilakukan Try Sutrisno jelas mengguncang perimbangan kekuasaan. Gibran adalah simbol politik Prabowo-Gibran, dan secara tidak langsung juga simbol kontinuitas kekuasaan Jokowi,” ujar Sutoyo

Posisi Pangkogabwilhan I kini diberikan kepada Laksda Hersan, seorang perwira tinggi TNI AL yang memiliki latar belakang sangat dekat dengan mantan Presiden Jokowi. Hersan dikenal publik sebagai mantan Ajudan Jokowi, serta sempat menjabat sebagai Sesmilpres.

“Langkah ini menunjukkan bahwa Jokowi belum sepenuhnya lepas tangan dalam permainan kekuasaan. Hersan adalah simbol loyalitas,” ujarnya

Terdapat dua spekulasi besar atas penempatan Kunto sebagai Staf Khusus KSAD. Pertama, ia “diparkir”, dijauhkan dari jantung kekuasaan, karena faktor politik orang tuanya. Kedua, ini adalah tahap akhir menuju promosi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan Jenderal Maruli Simanjuntak.

Namun Sutoyo Abadi meragukan kemungkinan promosi dalam waktu dekat. “Tradisi KSAD itu biasanya berasal dari jabatan seperti Pangkostrad atau Wakasad. Posisi staf khusus tak pernah jadi lompatan langsung. Ini lebih terlihat sebagai pendinginan, bahkan hukuman lunak,” tegasnya.

Pemakzulan Gibran, meskipun masih di ranah wacana, menjadi percikan api yang memperlihatkan fragmentasi tajam di kalangan purnawirawan TNI. Forum-forum semacam FKPPI, PPAD, maupun Purnawirawan TNI AD kini tidak lagi sepenuhnya satu suara. Ada yang memilih diam, sebagian lagi aktif menyuarakan penolakan atas praktek politik dinasti yang dianggap melecehkan reformasi 1998.

Dalam lanskap ini, Kunto Arief Wibowo berdiri di tengah pusaran. Ia adalah jenderal yang punya kredensial profesional tinggi, anak tokoh legendaris ABRI, tetapi juga bagian dari generasi yang harus bermain dalam politik kekuasaan pasca-reformasi.

Penunjukan Hersan juga menyiratkan satu hal penting: Jokowi belum sepenuhnya mundur dari kendali atas institusi TNI. Di tengah relasi rumit dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto, Jokowi seolah ingin tetap punya “tangan kanan” di militer melalui para loyalisnya. Hal ini makin terasa dengan masih kuatnya pengaruh keluarga Jokowi di sejumlah posisi, termasuk Gibran sebagai Wapres.

Kasus Letjen Kunto Arief Wibowo memperlihatkan bagaimana militer Indonesia, meski telah direformasi, tetap menjadi arena tarik-menarik kepentingan elite. Dalam kasus ini, terdapat setidaknya tiga kekuatan yang saling berkelindan: pengaruh Try Sutrisno yang idealis, posisi Gibran sebagai simbol dinasti baru, dan tangan panjang Jokowi dalam menjaga loyalitas.

Foto: Ilustrasi/Net

Komentar