Koperasi Merah Putih: Jalan Bangkitnya Kedaulatan Ekonomi Rakyat

- Selasa, 22 Juli 2025 | 08:05 WIB
Koperasi Merah Putih: Jalan Bangkitnya Kedaulatan Ekonomi Rakyat




SAYA menyimak pidato itu dari awal sampai akhir. Panjang. Riuh. Kadang emosional, kadang jenaka. Tapi tidak kehilangan arah. Di panggung Desa Bentangan, Klaten, Presiden Prabowo Subianto tidak sedang sekadar meresmikan koperasi. Ia sedang meluncurkan peluru pertama dari meriam besar yang ia sebut: revolusi ekonomi rakyat.

Ini?"kalau saya boleh pinjam istilah yang lebih berani?"adalah deklarasi perang. Perang terhadap kesenjangan. Perang terhadap kerakusan. Perang terhadap ekonomi yang terlalu lama dikendalikan dari atas dan melupakan akar rumput.

Yang diluncurkan bukan sekadar koperasi, melainkan 80.081 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih. Ya, delapan puluh ribu lebih. Angka yang membuat sebagian menteri terlihat ragu, tapi Presiden tampak yakin.




"Kalau tidak bisa, saya reshuffle," selorohnya disambut tawa. Tapi dari wajahnya, saya tahu itu bukan sekadar guyon.

Ekonomi dari Bawah, Bukan Basa-Basi

Presiden tidak bicara dengan istilah-istilah ekonomi makro. Ia tidak membawa slide atau data statistik. Ia bercerita:

Tentang mangga terbaik di Indonesia yang membusuk karena tak ada truk. Tentang pupuk subsidi yang tak pernah sampai ke tangan petani. Tentang beras biasa yang dibungkus ulang dan dijual dengan stempel “premium.”
Tentang penggilingan padi besar yang untung Rp2 triliun per bulan, sementara petani tetap menunggu harga panen yang adil.

"Kalau mereka tidak patuh, akan saya sita, dan akan saya serahkan kepada koperasi," katanya.

Saya terdiam. Sudah lama saya tidak mendengar Presiden Republik Indonesia mengucapkan kata “sita” kepada pengusaha-pengusaha besar. Bahkan mungkin sejak reformasi. Tapi kali ini, bukan hanya diucapkan, tapi disertai dasar hukumnya: Pasal 33 UUD 1945.

Undang-Undang Dasar Sebagai Senjata Pamungkas

Dalam momen yang dramatis, Presiden menyebut Pasal 33 sebagai roh Republik Indonesia. Bahwa cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara atau koperasi rakyat.

“Kalau tidak berani melawan yang menyengsarakan rakyat, untuk apa jadi Presiden?” begitu kira-kira getaran maknanya.

Pasal itu bukan pajangan. Ia dijadikan senjata untuk melawan “vampir-vampir ekonomi” yang selama ini menumpuk keuntungan di atas penderitaan rakyat.

Dari Tekad Jadi Gerakan Nyata: Sistem Logistik Desa Bangkit

Koperasi Merah Putih bukan koperasi papan nama. Di baliknya ada rancangan sistem logistik nasional berbasis desa:
• Gudang desa, agar hasil panen tak busuk saat pasar lesu
• Cold storage, agar ikan dan buah tetap segar
• Kendaraan logistik: truk dan pick-up untuk distribusi
• Gerai sembako, LPG, pupuk
• Apotek rakyat dan layanan super mikrofinansial
• Bahkan, kendaraan antar anak sekolah dan kendaraan jualan ibu-ibu.
Semua ini dibiayai oleh Dana Desa Rp2 miliar per tahun, yang selama ini sering tak jelas bekasnya. Kali ini, katanya, akan diawasi berbasis teknologi digital.

Pesan Moral dan Peringatan Terbuka

Lebih dari sekadar kebijakan, pidato itu sarat pesan moral.
• Kepada elit politik dan birokrasi: Jangan khianati rakyat dengan menjadi bagian dari sistem yang menindas.
• Kepada para pengusaha besar: Hentikan eksploitasi atas penderitaan rakyat kecil.
• Kepada kepala desa dan pengurus koperasi: Awasi dan kawal. Jangan ulangi era “Ketua Untung Duluan.”
Presiden tidak hanya memberi solusi. Ia mengirimkan peringatan:
"Kalau 100 triliun kerugian itu tidak dikembalikan ke rakyat, kita sita saja penggilingan-penggilingan padi yang brengsek itu."

Mimpi, atau Jalan Pulang?

Saya tahu, sebagian kita skeptis. Sudah banyak koperasi gagal. Sudah terlalu banyak papan nama proyek tanpa isi. Tapi saya juga tahu, revolusi yang besar sering tak datang dari perencanaan rapi, melainkan dari tekad yang tak bisa dihentikan.

Presiden bahkan menyebut bahwa apa yang sedang dihadapi bangsa ini bukan lagi soal mazhab ekonomi. Bukan kapitalisme. Bukan sosialisme. Tapi sistem baru:

"Serakah-nomik," katanya?"mengacu pada mereka yang mencari untung tanpa etika, tanpa batas.
Dan sebagai jalan tengah dari semua itu, Presiden menyebut koperasi sebagai bentuk modern dari gotong-royong.

Gotong-royong bukan milik partai. Ia milik bangsa. Ia adalah cara paling Indonesia untuk bangkit.

Catatan Akhir: Apakah Kita Mau Berdaulat?
Hari itu, saya tidak melihat kepala desa sebagai tamu undangan. Saya melihat mereka sebagai panglima ekonomi lokal. Garda terdepan dari perjuangan baru.

Kalau mereka hanya jadi penonton, koperasi ini akan layu sebelum tumbuh. Tapi kalau mereka bangkit, desa tak akan lagi jadi tempat yang ditinggalkan. Ia akan jadi pusat.

Presiden berkata: “Kalau Saudara-saudara di belakang saya, saya berani.”
Bagi saya, itu bukan sekadar retorika. Itu undangan sejarah. Untuk berdiri. Untuk mengawal. 

Untuk mengambil kembali hak rakyat dari tangan yang terlalu lama menghisapnya. Mungkin, dari sinilah kedaulatan ekonomi rakyat benar-benar dimulai. Bukan dari bursa saham, bukan dari istana, tapi dari gudang beras di belakang balai desa. 

Agus Maksum 

(Penggiat Koperasi)

Komentar