PARADAPOS.COM - Polemik seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo terus menghangat, memicu perdebatan sengit di berbagai platform, termasuk dalam sebuah podcast Forum Keadilan di YouTube.
Diskusi yang menghadirkan pakar telematika Roy Suryo, pengamat kepolisian Alfons Loe Mau, dan dipandu oleh Reza Indragiri Amriel, justru mengungkap lapisan kebingungan yang semakin tebal di tengah masyarakat.
Pertanyaan mendasar mengenai arah dan manfaat kasus ini, seperti yang diutarakan Reza Indragiri, menjadi benang merah dari perbincangan tersebut.
"Saya bingung mengenai arah dan manfaat kasus ini," kata Reza Indragiri Amriel di awal diskusi.
Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan publik yang kian merasa terjebak dalam pusaran informasi simpang siur dan perbedaan pandangan para ahli.
Alih-alih mendapatkan pencerahan, perdebatan ini justru menimbulkan lebih banyak tanya.
Adu Argumen: Antara Dugaan Pemalsuan dan Prosedur Hukum
Di satu sisi, Roy Suryo dengan tegas memaparkan hasil analisis ilmiahnya yang mengarah pada dugaan kuat pemalsuan.
Ia mengklaim bahwa ijazah Joko Widodo "99,9% palsu" berdasarkan analisis telematika, perbedaan font, ketidaksesuaian foto, dan kejanggalan pada skripsi yang diduga milik Presiden.
Roy Suryo bahkan menyoroti absennya ijazah asli dalam gelar perkara khusus di Bareskrim Polri.
"Dalam gelar perkara khusus itu, ijazah aslinya tidak dihadirkan, itu sangat lucu dan mengecewakan," ungkap Roy Suryo.
Ia juga mempermasalahkan kualitas fotokopi ijazah yang diperlihatkan sebelumnya, yang menurutnya buruk, terlipat, bahkan ada tetesan kopi.
Bagi Roy, gelar perkara itu juga tidak mempertandingkan metode ilmiah secara imbang.
Kritik Roy Suryo tidak berhenti di situ; ia bahkan menyebut ahli yang dihadirkan pihak Joko Widodo, Josua Sinambela, sebagai "lebih ke ahli sastra" karena tidak mampu menyangkal secara teknis.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Alfons Loemau.
Sebagai pengamat kepolisian, Alfons melihat persoalan ini dari kacamata prosedur hukum dan pembuktian.
Ia berpendapat bahwa penyelidikan kasus ini seharusnya sudah berhenti sejak awal karena alat bukti yang dibawa pelapor hanyalah fotokopi ijazah.
"Menurut edaran Mahkamah Agung, fotokopi tidak dapat digunakan sebagai dokumen yang memiliki nilai pembuktian hukum," jelas Alfons.
Ia menegaskan prinsip hukum "siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan", yang berarti pelaporlah yang seharusnya membawa ijazah asli untuk dibuktikan kepalsuannya.
"Jika pelapor tidak membawa ijazah asli, maka laporan tersebut seharusnya 'diistirahatkan'," tambahnya.
Kredibilitas Institusi dan Pertanyaan Publik
Di tengah perbedaan pandangan antara kedua narasumber, pertanyaan besar muncul mengenai kredibilitas institusi yang terlibat, terutama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Polri.
Roy Suryo secara terbuka menyatakan dugaan bahwa UGM bisa diorkestrasi secara manipulatif, merujuk pada sulitnya akses skripsi-skripsi saat ini dibandingkan sebelumnya.
Ia menegaskan bahwa tindakannya adalah bentuk kecintaan terhadap UGM dan tidak rela kampusnya menjadi alat pihak tertentu.
"Saya tidak rela UGM menjadi alat pihak tertentu yang justru mendegradasi nama baik kampus," tegasnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa UGM tidak menunjukkan kebanggaan terhadap alumninya yang menjadi presiden selama 10 tahun.
Sebaliknya, Alfons Loemau secara konsisten percaya pada pernyataan UGM bahwa ijazah Jokowi asli.
Ia juga meyakini bahwa KPU tidak mungkin dikelabui karena proses verifikasi ijazah calon pejabat publik sangat ketat.
Terkait Polri, meskipun mengakui bahwa lembaga penegak hukum sering mendapat pandangan sinis dan tidak bisa lepas dari politik, Alfons percaya bahwa masih ada penyidik yang berintegritas.
Reza Indragiri Amriel sebagai pemandu acara, turut menyoroti keanehan mekanisme kerja Polri jika pembagian kasus hanya berdasarkan pemerataan beban kerja.
Ia juga mempertanyakan, "Jika UGM diorkestrasi, itu menunjukkan kelemahan UGM".
Keraguan juga muncul mengenai objektivitas Polri dalam menangani laporan Joko Widodo, dengan pertanyaan apakah Polri masih bisa diandalkan tanpa tekanan politik?
Reza bahkan menyarankan bahwa jika masalahnya adalah metode penelitian, seharusnya tidak diselesaikan di ruang hukum.
Dengan beragamnya sudut pandang dan temuan yang saling bertolak belakang, kebingungan publik mengenai isu ijazah Jokowi tampaknya akan terus berlanjut.
Perdebatan ini tidak hanya menguji kebenaran sebuah dokumen, tetapi juga kredibilitas institusi dan sistem hukum di Indonesia.
Bagaimana kelanjutan isu ini akan terungkap, masih menjadi tanda tanya besar yang dinantikan jawabannya oleh masyarakat.
[VIDEO]
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Warisan Kelam Jokowi: 2 Dosa Demokrasi Yang Dibongkar Pakar Hukum Bivitri Susanti!
KPK Ciut Periksa Bobby Nasution, Mahfud MD Sebut Lembaga Titipan hingga Boneka!
4 Kasus Kelam Polisi Bunuh Polisi! Terbaru Liburan Brigadir Nurhadi Berujung Maut
Ternyata Ini Gurita Bisnis Riza Chalid, Raja Minyak Tersangka Kasus Pertamina, Kelola 4 Perusahaan di Singapura