PARADAPOS.COM - Mantan Komisaris Utama atau Komut ASDP Lalu Sudarmadi mengatakan dirinya pernah melaporkan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ihwal kerja sama usaha perusahaan pelat merah tersebut dengan PT Jembatan Nusantara.
Hal ini diungkapkan oleh Sudarmadi saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Duduk di kursi terdakwa adalah mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, eks Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, dan mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Muhammad Yusuf Hadi.
"Saksi pernah ada melaporkan kepada pihak Kementerian BUMN terkait kerja sama ASDP dengan PT JN ini? Betul ya?" tanya Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 17 Juli 2025.
Sudarmadi lantas membenarkan. Jaksa lalu bertanya, apakah dia mengirimkan surat kepada Menteri BUMN.
"Ada, laporan," kata Sudarmadi.
JPU KPK kembali bertanya, "bisa dijelaskan enggak laporan itu terkait kerja sama PT ASDP dengan PT JN, apa yang dilaporkan waktu itu?"
"Sebenarnya kami informal saja mau melaporkan melalui Deputi (Kementerian BUMN)-nya dulu," jawab Sudarmadi.
Deputi tersebut lantas mengarahkan agar ia membuat laporan.
"Sebenarnya kami melaporkan bahwa proses KSU menjadi akuisisi ini akan berisiko, itu saja intinya, karena kami pernah menolak 2016."
Jaksa lantas menunjukkan sebuah surat.
"Betul suratnya seperti ini? Perihal laporan kepada Mnteri BUMN saat itu Pak Erick Thohir?"
"Iya," ujar Sudarmadi.
JPU kembali bertanya "terkait kerja sama ASDP dengan PT JN?"
Sudarmadi lagi-lagi mengiyakan. Dia menuturkan, Dewan Komisaris ASDP tidak diberikan informasi ihwal kerja sama ini secara maksimal.
Mereka baru mengetahui saat diundang dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (mount of understanding/MoU) antara PT ASDP dengan PT Jembatan Nusantara.
Kendati demikian, sebelumnya direksi telah menyampaikan konsep naskah untuk dipelajari Komisaris agar dapat memberikan saran. Namun, masukan tersebut tidak terpenuhi.
"Dari surat PT JN tersebut, nampaknya apa yang dikemukakan Dirut akan menguntungkan ASDP, hanya sebagai rencana yang tidak akan tercapai dan berpotensi menimbulkan kerugian serta tindakan memperkaya badan atau orang lain," ujar Sudarmadi.
Dia menduga, kerja sama usaha tersebut sebagai jalan untuk mengakuisisi atau membeli membeli kapal bekas PT Jembatan Nusantara.
Dirinya juga melaporkan kepada Erick Thohir bahwa pada rapat umum pemegang saham (RUPS) 2016 lalu pihaknya telah menolak akuisisi perusahaan swasta itu.
Sudarmadi mengatakan, laporan tersebut terkirim pada Maret 2020. Sebulan kemudian dia dicopot dari posisi Komisaris Utama ASDP.
"Kemudian yang tadi sebagaimana disampaikan di awal persidangan, April 2020 tiba-tiba saksi diberhentikan sebagai komisaris?" tanya Jaksa KPK.
Sudarmadi menjelaskan, dengan menyampaikan laporan tersebut, dia dipanggil untuk menjelaskan. Tapi, dia justru dipanggil untuk menjelaskan.
"Waktu ada serah terimanya itu, tidak dijelaskan alasannya," ujarnya.
JPU KPK kembali bertanya, "pernah enggak dijelaskan, saksi mempertanyakan alasan diberhentikan?"
Sudarmadi menuturkan, serah terima jabatannya itu terjadi saat awal pandemi Covid-19. Sehingga, acara itu berlangsung secara daring.
Saat itu, ia meminta penjelasan oleh Deputi Kementerian BUMN.
Dia pun mendapat jawaban bahwa ini hanya penataan, dan dirinya akan dicarikan tempat lain karena berprestasi.
Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi, serta Harry Muhammad Adhi Caksono selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020–2024 dan Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019–2024 menjadi terdakwa dalam perkara ini.
Jaksa KPK menuding Ira, Harry, dan Muhammad Yusuf telah merugikan keuangan negara senilai Rp 1.253.431.651.169 atau Rp 1,25 triliun dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP tahun 2019 hingga 2022.
Kerugian keuangan itu terdiri dari nilai pembayaran saham akuisisi saham PT JN sebesar Rp 892 miliar, pembayaran 11 kapal afiliasi PT JN sebanyak Rp 380 miliar, serta nilai bersih yang dibayarkan ASDP kepada pemilik dan beneficial owner PT Jembatan Nusantara, Adjie, dan perushaaan afiliasi senilai Rp 1,272 triliun.
Jaksa mengatakan, modus dugaan korupsi yang dilakukan para terdakwa adalah dengan mengubah surat keputusan direksi.
Ini bertujuan mempermudah pelaksanaan kerja sama usaha antara PT ASDP dan PT Jembatan Nusantara.
Para terdakwa juga diduga meneken perjanjian kerja sama pengoperasian kapal antara kedua perusahaan tersebut.
Padahal, belum ada persetujuan dari dewan komisaris.
Perjanjian kerja sama itu juga diduga tidak mempertimbangkan risiko yang disusun oleh VP Manajemen Risiko dan Quality Assurance.
Ketiga petinggi ASDP itu juga diduga tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT Jembatan Nusantara dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli.
Mereka dinilai mengkondisikan penilaian terhadap 53 kapal PT JN.
Selain itu, ketiganya dituding mengabaikan hasil uji tuntas teknik engineering due diligence PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) terkait untuk tidak mengakuisisi 9 kapal yang tidak layak.
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sumber: Tempo
Artikel Terkait
Anies: Kalau Tom Lembong Saja Bisa Dikriminalisasi, Bagaimana Jutaan Rakyat Lainnya
Tok! Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara di Kasus Impor Gula
Waduh! Ditjen AHU Kemenkum Juga Bingung Lokasi Riza Chalid
Wajah Tegang! Anies dan Rocky Gerung Hadiri Sidang Vonis Tom Lembong