Tumbang Oleh Teknologi: 'Akhir Era Kebohongan Jokowi?'
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Ketika publik menggugat keaslian ijazah S-1 dan skripsi Jokowi, sang mantan Presiden hanya menyodorkan klaim: “asli.”
Namun, kali ini kebohongan—jika benar adanya—tak bisa lagi berlindung di balik panggung kekuasaan.
Lawan yang dihadapi bukan aktivis yang bisa dibungkam, bukan pula lembaga yang bisa ditundukkan.
Tapi seperangkat teknologi berbasis sains yang objektif, eksakta, dan tidak kenal takut: machine versus man.
Bagaimana bisa seseorang seperti Jokowi—yang pernah dengan enteng berdusta kepada rakyat—berlaga curang di hadapan “benda mati” yang tak bisa disuap atau digertak?
Perangkat digital forensik, alat telematika, serta sistem verifikasi data berbasis IT kini berada dalam genggaman dua sosok yang tak gentar: Dr. Roy Suryo (pakar telematika) dan Dr. Rismon Sianipar (ahli forensik digital).
Mereka tak bersenjata bintang di pundak, tapi dilengkapi integritas dan keberanian untuk menelanjangi rekayasa.
Zaman kekuasaan memang ada masa berlakunya. Dan kini, tampaknya masa Jokowi sudah lewat.
Era ‘raja bohong’ itu—gelar yang muncul dari syair rakyat dan kritik mahasiswa—berakhir bukan oleh desakan oposisi, melainkan oleh kabel tembaga dan algoritma: teknologi.
Jokowi bukan lagi menghadapi sesama politisi, melainkan instrumen yang digerakkan logika dan data.
Ironisnya, alat-alat ini tak punya urat takut. Tak kenal kompromi. Tidak peduli jabatan, nama besar, atau cerita lama. Mereka hanya mengenal satu hal: kebenaran.
Namun, dalam menghadapi tekanan ini, muncul manuver politis beraroma lama: rekonsiliasi.
Ada sinyal dari tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie—kakak kelas Anwar Usman, adik ipar Jokowi—yang mulai menyuarakan pendekatan “restoratif justice.”
Namun publik tahu, ini bukan sekadar perkara pribadi. Ini soal kebohongan pada bangsa.
Soal kerugian sistemik dan moral yang ditanggung oleh seluruh rakyat.
Rekonsiliasi untuk Jokowi? Itu seperti menawar luka bangsa dengan plester politik. Mustahil dapat diterima nalar keadilan.
Karena yang menjadi korban bukan cuma tetangganya di Solo, tapi tanah, air, udara, samudera, hukum, pendidikan, budaya, dan masa depan anak-anak negeri ini.
Jokowi telah menyisakan residu “Revolusi Mental” yang malah mendistorsi nalar dan moralitas publik.
Dalam satu dekade, bangsa ini bukan saja stagnan, tapi terkikis dalam integritas dan nalar bernegara.
Maka pertanyaannya kini: apakah adagium suci dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945—Indonesia adalah negara hukum—telah diamandemen diam-diam menjadi Indonesia adalah negara voting?
Jika ya, maka keadilan tak lebih dari suara mayoritas. Dan bila begitu, bersiaplah kita menyambut era di mana kebohongan bisa disahkan lewat suara terbanyak, bukan kebenaran.***
Artikel Terkait
Sentil KPAI, Dedi Mulyadi: Jangan Terus Koreksi Kebijakan, Tapi Selesaikan Masalah Anak
Nama Budi Arie di Dakwaan Kasus Judol: Dugaan Jatah 50 Persen hingga Kode Setoran Bagi PM
Prabowo Harus Sudahi Mulut Comberan Menkes Budi Gunadi
Jokowi, Negarawan atau Preman Politik?