IRONI! Ijazah Tak Pernah Hadir, Tapi Pengkritik Dipenjara
Aparat jangan dzalim! Arah angin sudah berubah. Zaman lancar berdusta sudah usai. Kini, rakyat mulai “gatal-gatal” melihat ketidakadilan yang dipelihara.
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP
Dalam salah satu pertimbangan putusan terhadap Bambang Tri Mulyono (BTM), terdapat kutipan yang patut dicermati:
“Bahwa terhadap pembelaan ini tidak pernah dibuktikan adanya rekayasa foto digital maupun uji forensik terhadap dokumen yang dianggap dipalsukan dan dokumen pembanding (aslinya) yang seharusnya diuji di laboratorium forensik.
Faktanya, Terdakwa tidak pernah dapat mengajukan bukti ijazah yang dituduh palsu tersebut supaya bisa diuji di Labkrim forensik.
Namun, terdakwa dan penasihat hukum justru selalu meminta Jaksa dan Hakim untuk menghadirkan ijazah aslinya.”
Lalu, di mana letak kekeliruannya? Dari sisi asas dan teori hukum pidana, semestinya semua pihak — baik penegak hukum maupun pengadilan — berorientasi pada pencarian kebenaran materiil. Tujuannya agar tidak keliru menghukum seseorang.
Apakah permintaan kuasa hukum BTM untuk menghadirkan ijazah asli Presiden Jokowi bukan bagian dari upaya mencari kebenaran?
Justru, sesuai pendapat Jaksa Penuntut Umum sendiri, uji forensik sangat dibutuhkan.
Namun bagaimana mungkin uji tersebut bisa dilakukan bila yang dihadirkan hanya fotokopi ijazah yang dilegalisir — dari tingkat SD, SMP, SMA hingga S-1 — tanpa satu pun ijazah asli sebagai objek pemeriksaan forensik?
Anehnya lagi, dalam persidangan perkara pidana di PN Surakarta, Presiden Jokowi tidak pernah hadir sebagai saksi korban.
Tidak ada BAP, tidak ada pemeriksaan langsung.
Tidak ada pula ijazah asli yang dapat dijadikan bahan pembanding, apalagi untuk menilai keaslian dokumen S-1 UGM yang disengketakan.
Jadi, bagaimana mungkin para terdakwa dianggap telah berbohong atau menyebar hoaks, sementara data pembanding tidak pernah dihadirkan? Maka tidak semestinya vonis dijatuhkan atas dasar anggapan “fitnah”.
Namun anehnya, Pengadilan Tinggi Semarang kemudian menganulir vonis tersebut dan memutus bahwa tindakan para terdakwa bukan fitnah atau kebohongan, melainkan ujaran kebencian. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Pertanyaannya: kebencian terhadap siapa? Jika tidak terbukti ada fitnah dan tidak terbukti ada kebohongan, lalu darimana datangnya unsur kebencian itu? Secara logika hukum, ini merupakan bentuk konstruksi pasal yang dipaksakan — seolah ingin memenjarakan kritik melalui jalur tafsir emosional.
Hal serupa juga terjadi pada laporan terhadap sejumlah aktivis TPUA dan dua pakar IT, yang bahkan telah melakukan riset mendalam dan menyimpulkan bahwa dokumen yang diklaim sebagai ijazah Jokowi adalah palsu 100%.
Dalam kasus ini, justru seharusnya aparat penegak hukum wajib meminta ijazah asli dari Presiden untuk dilakukan uji forensik, bukan langsung menetapkan pelapor sebagai tersangka.
Jika laporan berasal dari pihak pecinta Jokowi dan menyebut Jokowi sebagai korban, maka sesuai KUHAP, Jokowi harus diperiksa dan dibuatkan BAP sebagai saksi korban.
Negara hukum tidak boleh berubah menjadi negara tafsir.
Penjara bukan tempat bagi mereka yang menyuarakan kritik berbasis data — apalagi jika negara belum bisa membuktikan bahwa kritik tersebut salah.
Jika rasa benci tidak dapat dibuktikan, maka vonis atas dasar kebencian adalah bentuk kezaliman hukum.
Aparat jangan dzalim! Arah angin sudah berubah. Zaman lancar berdusta sudah usai.
Kini, rakyat mulai “gatal-gatal” melihat ketidakadilan yang dipelihara! ***
Artikel Terkait
Kasus Ijazah Jokowi Naik Sidik, Polisi: Tinggal Ungkap Tersangka
Link Video Viral Andini Permata Viral di X & Telegram, Ini Fakta Lengkap!
Permohonan Jokowi Diterima, Sidang Pembuktian Ijazah Jokowi Dihentikan
Diduga Salah Tangkap! Kepala Puskesmas di Polewali Mandar Alami Pendarahan Otak Usai Dihajar Polisi