'Mengapa Jokowi Akhlaknya Suka Berbohong?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kita tidak lahir dengan nilai-nilai. Kita menyerapnya. Dari rumah, mula-mula.
Ada yang bilang, kekuasaan merusak. Tapi lebih benar bila dikatakan: kekuasaan membuka siapa kita sebenarnya.
Dulu, kita mengenalnya sebagai lelaki sederhana dari Solo. Gaya bicaranya pelan, sering terlihat kikuk, tapi memikat.
Ia membangun citra sebagai pemimpin yang lahir dari rakyat, berbicara seperti rakyat, dan berpihak pada rakyat.
Tapi hari lalu, lelaki itu duduk di puncak kekuasaan, dan kita seperti mendengar dua suara darinya: satu yang dulu menyapa dengan gaya santun dari Balai Kota, dan satu lagi yang kini membentak dari Istana.
Apa yang menjadikan seorang Jokowi berubah demikian drastis? Atau, barangkali, ia tidak berubah sama sekali—kita saja yang dulu belum cukup mengenalnya.
Nilai-nilai tak turun dari langit. Ia dibentuk oleh pengalaman, lingkungan, dan lebih dulu lagi: keluarga.
Rumah adalah ruang paling sunyi tempat seseorang belajar apa arti kebenaran, apa makna kejujuran, dan bagaimana bersikap terhadap kekuasaan.
Jika seorang anak tumbuh dalam rumah yang memperlakukan kebohongan sebagai cara bertahan hidup, maka besar kemungkinan ia akan menjadikan dusta sebagai alat, bukan aib.
“The subconscious mind is formed by observing others, especially during childhood. Most people don’t realize they’re just replaying a program installed by their family.”
Konon, masa kecil Jokowi dekat dengan lingkungan ideologis yang tidak bertumpu pada iman sebagai fondasi nilai.
Narasi ini memang tidak pernah dikonfirmasi dengan jujur, tapi juga tidak pernah dibantah dengan tegas.
Bukan berarti setiap orang yang tumbuh di sekitar ideologi kiri niscaya kehilangan moral, tidak.
Tapi jika dalam rumah itu nilai-nilai agama hanya menjadi tempelan sosial—bukan keyakinan batin—maka “dosa” tak punya tempat dalam logika hidup.
Dalam logika itu, yang benar bukan yang jujur, melainkan yang berhasil.
Dan kita tahu, Jokowi berhasil. Tapi dengan ongkos mahal: hilangnya kepercayaan publik.
Ia pernah berjanji tak akan mengangkat anak dan menantunya dalam politik.
Hari ini, satu jadi wakil presiden, satu lagi menuju kursi gubernur. Ia pernah bilang tak akan ikut cawe-cawe soal pilpres.
Tapi kita tahu betapa kuat bayangannya dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi, KPU, bahkan dalam framing media.
Berbohong bukan lagi kegagalan moral. Tapi metode kekuasaan.
Tapi kenapa?
Barangkali karena sejak awal ia tidak pernah menganggap kebohongan sebagai bentuk pengkhianatan.
Barangkali sejak kecil, dalam rumahnya, kebenaran adalah apa yang berguna.
Agama? Mungkin hadir sebagai formalitas. Nilai? Mungkin tak lebih dari strategi.
Maka ia pun tumbuh menjadi manusia politik tanpa beban akhlak. Berjanji tanpa niat menepati. Berucap tanpa takut dilangitkan.
Kita menyaksikan seorang pemimpin yang tidak hanya ingkar, tapi tak merasa bersalah.
Seolah ia tak tahu bahwa kata adalah amanah. Dan barangkali ia memang tak pernah diajari begitu.
Dalam dunia di mana iman adalah fondasi moral, berbohong adalah dosa. Dalam dunia tanpa itu, bohong hanyalah taktik.
Kita tidak dilahirkan dengan akhlak. Kita menyerapnya. Dan apa yang diserap Jokowi—entah dari rumah, entah dari sejarah—telah membentuknya menjadi sosok yang kini kita kenal: presiden yang tak pernah benar-benar jujur.
Dan seperti kata seseorang yang sudah lama berhenti berharap: kita bukan sedang menyaksikan seorang pemimpin yang jatuh, tapi seseorang yang akhirnya memperlihatkan wajah aslinya. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Kinerja Menko Airlangga Sukses Redam Ancaman Tarif AS
Ketika Tradisi Luhur Pacu Jalur Riau Tercoreng Ulah Remaja di Tol Lampung
SDN 27 Kauman Solo Hanya Dapat 1 Murid Baru, Abrizam Sepi Jalani MPLS Sendirian
Sindiran Anies soal Absennya Presiden di Sidang PBB, Pengamat: Itu Jelas Ditujukan ke Jokowi