Sukses Turunkan Tarif Hingga 19%, Kapasitas Diplomasi Ekonomi Era Prabowo Teruji

- Rabu, 16 Juli 2025 | 13:40 WIB
Sukses Turunkan Tarif Hingga 19%, Kapasitas Diplomasi Ekonomi Era Prabowo Teruji


Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mencetak pencapaian strategis dalam sektor perdagangan internasional dengan keberhasilannya menurunkan tarif bea masuk Amerika Serikat (AS) terhadap produk ekspor Indonesia dari sebelumnya 32% menjadi 19%. Keputusan penurunan tarif tersebut terjadi dalam konteks tantangan proteksionisme global yang meningkat dan menjadi sorotan diplomasi ekonomi dunia.

Langkah ini dipandang sebagai bentuk keberhasilan diplomasi ekonomi Indonesia yang efektif dan adaptif dalam menjawab tekanan kebijakan luar negeri yang keras, terutama di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump yang dikenal dengan kebijakan dagang proteksionis.

"Keberhasilan ini bukan hanya soal angka penurunan tarif, tetapi mencerminkan kekuatan diplomasi ekonomi Indonesia dalam menghadapi tekanan geopolitik global. Ini membuktikan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo memiliki kapasitas negosiasi yang mumpuni, bahkan ketika situasi diplomatik belum ideal," ujar Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., Direktur Pascasarjana Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dalam pernyataan tertulisnya.

Umam menekankan bahwa capaian ini patut diapresiasi mengingat pada saat proses negosiasi terjadi, Indonesia belum memiliki Duta Besar definitif di Washington DC, sementara Presiden Trump secara terbuka menyatakan ancaman tarif tambahan kepada negara-negara anggota BRICS. Dalam situasi seperti itu, kemampuan Indonesia dalam mempengaruhi kebijakan tarif AS menunjukkan pengakuan strategis terhadap posisi Indonesia di mata dunia.

"Ini adalah sinyal kuat adanya 'diplomatic trust' antara Jakarta dan Washington. Kepercayaan seperti ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari pendekatan pragmatic engagement yang konsisten, memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra dagang dan mitra geopolitik di kawasan Indo-Pasifik," lanjutnya.

Meski begitu, Umam menilai bahwa pencapaian ini tidak boleh membuat pemerintah terlena. Ia mengingatkan bahwa diplomasi ekonomi ke depan justru harus diperkuat dengan strategi yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan memperluas pasar ekspor Indonesia ke wilayah-wilayah nontradisional seperti Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah. "Kita tidak bisa terus bergantung pada pasar yang sama. Dunia sedang berubah, dan kita harus lebih berani masuk ke pasar-pasar baru," ujarnya.

Ia juga mendorong agar ekspor Indonesia tidak lagi hanya mengandalkan bahan mentah. Menurutnya, peningkatan nilai tambah melalui industrialisasi dan pengembangan produk teknologi tinggi harus menjadi agenda utama. “Kalau kita ingin punya daya tawar yang lebih kuat di dunia internasional, maka ekspor kita juga harus naik kelas,” tegas Umam.

Dalam konteks kelembagaan, Umam mengusulkan pembentukan gugus tugas diplomasi ekonomi lintas kementerian yang dapat merespons cepat dinamika perdagangan global. “Perwakilan kita di luar negeri harus diberi mandat dan sumber daya yang cukup untuk menjadi ujung tombak promosi sekaligus perlindungan kepentingan ekonomi nasional,” jelasnya.

Lebih lanjut, Umam juga menekankan pentingnya membangun ekosistem industri nasional yang tangguh. Ia menilai bahwa ketahanan ekonomi tidak hanya dibentuk dari luar, tetapi juga dari dalam negeri. “Mulai dari rantai pasok yang kuat, insentif riset dan inovasi, sampai keberpihakan pengadaan pemerintah pada produk lokal—semua harus ditata ulang. Kita perlu fondasi ekonomi yang bisa bertahan menghadapi goncangan global,” pungkasnya.

Penurunan tarif ini disebut Umam sebagai momentum penting bagi Indonesia untuk mengukuhkan posisi sebagai kekuatan ekonomi regional yang disegani. "Dengan kebijakan yang visioner, responsif, dan berbasis pada kepentingan nasional, Indonesia bukan hanya bisa bertahan, tetapi juga bisa memimpin dalam tatanan global yang sedang berubah."

Komentar