PARADAPOS.COM - Istilah "Tradisi Pengecoran" mengemuka di tengah musibah ambruknya bangunan tiga lantai Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur.
Tradisi itu disebut merupakan bentuk hukuman bagi santri yang melakukan pelanggaran.
Namun beberapa santri mengungkapkan, mereka hanya diminta membantu tukang, bukan melakukan pengecoran sendiri.
Sejumlah alumni membantah bahwa santri dihukum dengan mengecor.
Mereka menyebut itu sebagai hoaks dan menyatakan bahwa tradisi sebenarnya adalah “roan”, yaitu kerja bakti membersihkan lingkungan pondok.
"Itu tidak benar. Jika disuruh ngecor, kapan kami belajarnya, proses pengerjaannya saja butuh berhari-hari," kata Anshori saat ditemui Kompas.com, Sabtu (4/10/2025).
Ia mengatakan bahwa memang ada hukuman bagi santri yang tidak ikut kegiatan tertentu, tetapi bukan dalam perbantuan mengecor, tetapi menambah hafalan mengaji.
Menurut Anshori, di lingkungan pesantren memang terdapat tradisi roan atau bentuk gotong royong.
Roan sendiri dalam harfiahnya adalah kegiatan santri untuk kerja bakti membersihkan lingkungan pesantren.
Artinya, dikerjakan bersama-sama dalam bentuk gotong royong.
Ia menambahkan, biasanya roan dilakukan saat hari libur atau waktu tertentu.
Keterangan santri
Namun, seorang santri mengungkapkan, dirinya ikut terlibat dalam membantu proses pengecoran bangunan.
Rizki (19) menjelaskan, saat kejadian, ia melakukan pengecoran di lantai lima atas musala bersama dengan pekerja lain.
"Saya tidak tahu persis siapa saja yang tertimpa bangunan, soalnya waktu itu saya berada di atas ikut kerja."
"Anak-anak di musala sedang salat Asar, tiba-tiba bangunannya ambruk,” ujar Rizki saat ditemui di Rumah Sakit Siti Hajar, Sidoarjo, pada Senin malam.
Akibatnya, Rizki mengalami luka robek di bagian dagu.
Sementara itu, dilansir dari sejumlah sumber, santri-santri diminta membantu mengecor atau membangun fasilitas pesantren sebagai bentuk hukuman.
Hukuman itu diberikan jika santri tidak mengikuti kegiatan ponpes.
Update korban
Tim SAR Gabungan kembali menemukan dua korban baru dalam proses evakuasi reruntuhan bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Senin malam, 6 Oktober 2025.
Dengan demkian, jumlah korban meninggal dunia meningkat menjadi 66 orang, termasuk tujuh bagian tubuh yang berhasil dievakuasi dari lokasi.
Kasubdit Pengarahan dan Pengendalian Operasi Basarnas, Emi Freezer, mengatakan, total korban yang berhasil dievakuasi dari lokasi mencapai 13 orang.
"Dua korban terakhir berhasil dievakuasi dari sektor A3 dan A2, di area belakang gedung pondok, dengan rentang waktu antara pukul 18.18 WIB hingga 21.03 WIB,” kata Emi.
Kronologi kejadian
Bangunan musala Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo ambruk pada Senin, 29 September 2025 sekitar pukul 15.35 WIB saat ratusan santri sedang melaksanakan salat Ashar.
Musala empat lantai itu runtuh setelah proses pengecoran lantai tiga yang dilakukan sejak pagi hari.
Berikut kronologi lengkapnya:
Senin, 29 September 2025 – Pagi hingga Siang
Pengecoran lantai tiga musala dilakukan sejak pagi dan selesai sekitar pukul 12.00 WIB.
Bangunan musala tersebut masih dalam tahap pembangunan dan renovasi, dengan struktur atap berupa cor semen datar, bukan genteng.
Pukul 15.00–15.35 WIB – Saat Salat Ashar
Ratusan santri sedang melaksanakan salat Ashar berjemaah di lantai dua musala.
Beberapa santri merasakan goyangan pada struktur bangunan, lalu terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi.
Bangunan tiba-tiba ambruk, dimulai dari bagian ujung musala yang runtuh dan merembet ke seluruh struktur.
Setelah kejadian, petugas gabungan dari Basarnas, BPBD, dan relawan bergerak melakukan evakuasi.
Upaya penyelamatan dilakukan secara manual karena masih terdengar suara santri minta tolong dari bawah reruntuhan, sehingga alat berat tidak langsung digunakan.
Puluhan ambulans dikerahkan untuk membawa korban ke rumah sakit terdekat.
Korban
Awalnya dilaporkan 3 santri meninggal dunia, namun jumlah korban terus bertambah seiring proses evakuasi.
Hingga Selasa pagi, 7 Oktober 2025, total korban meninggal mencapai 66 orang.
Apa penyebab kejadian?
Runtuhnya bangunan diduga karena kegagalan konstruksi akibat struktur bangunan yang tidak mampu menahan beban pengecoran lantai atas.
Bangunan tersebut juga disebut tidak memiliki izin bangunan resmi (PBG).
Pakar Teknik Sipil ITS Surabaya, Muji Himawan mengatakan, penyebab bangunan tersebut ambruk karena kegagalan konstruksi.
"Semua elemen struktur dinyatakan hancur mulai dari beton, pelat, hingga balok," ujarnya dikutip dari Kompas.com.
Hal senada juga disampaikan Kepala Subdirekturat Pengendali Operasi Bencana dan Kondisi Membayakan Manusia dari Direktorat Operasi Kantor Basarnas Pusat, Emi Freezer.
"Kemudian (bangunan) berubah menjadi tumpukan atau pancake model," katanya dikutip dari Kompas.com.
Struktur bangunan pancake mengacu pada jenis reruntuhan progresif di mana lantai bangunan runtuh secara vertikal dan bertumpuk akibat kegagalan elemen struktur menahan beban
Sumber: Tribunnews
Artikel Terkait
ICW Laporkan Korupsi Pengurangan Porsi Makanan Haji Rp 255 M, Serahkan 3 Nama Terduga Pelaku
VIRAL Aksi Penghapusan Mural One Piece di Sragen, TNI Klaim Sukarela Tapi Kok Dikawal dan Diawasi?
Pengibar Bendera One Piece Diburu Aparat, Soleh Solihun: Kalau Bendera Ormas sama Parpol Boleh
Fantastis! Dilaporkan Tom Lembong, Lonjakan Harta Kekayaan Hakim Dennie Arsan Fatrika Jadi Sorotan