Bangsa Ini Harus 'Cegah' Jokowi Kembali Berkuasa Lewat Gibran!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Diyakini bahwa pola cawe-cawe Jokowi bersama Anwar Usman dalam “mengakali usia” Gibran bukanlah tanpa motif politik.
Isu adanya kesepakatan Prabowo untuk menyerahkan kursi RI 1 setelah dua tahun berkuasa menjadi spekulasi yang tidak bisa begitu saja diabaikan.
Walau bersifat subjektif, keyakinan ini berakar dari informasi yang pernah disampaikan secara terbuka oleh Connie Rahakundini Bakrie, seorang aktivis sekaligus pengamat militer dan pertahanan.
Publikasi isu ini sebelum Pilpres 2024 tentu bukan kebetulan belaka, melainkan isyarat tentang skenario politik yang berlapis.
Namun, yang paling mengkhawatirkan bukan sekadar isu kesepakatan, melainkan bukti nyata adanya cacat konstitusi dalam perjalanan politik Gibran menuju kursi RI 2.
Putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Hakim Konstitusi karena terbukti tidak netral dalam memimpin sidang uji materi terkait syarat usia cawapres, adalah bukti hukum yang gamblang.
Artinya, Gibran Bin Jokowi masuk ke gelanggang Pilpres 2024 melalui pintu nepotisme yang jelas-jelas “haram” dalam sistem hukum dan demokrasi.
Status Gibran sebagai anak Jokowi makin menegaskan adanya intrik kekuasaan.
Jokowi dengan segala cara berusaha memperpanjang “napas politiknya” melalui sang putra, meski konstitusi melarangnya menjabat tiga periode.
Dalam rekam jejaknya, Jokowi dikenal gemar berbohong, pandai menjerat lawan politik maupun pejabat publik dengan isu korupsi, lalu memanfaatkannya sebagai alat kontrol.
Bahkan hingga kini, aroma manipulasi kekuasaan masih terasa pekat.
Lebih jauh, tudingan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi yang masih menjadi sengketa publik memperkuat stigma buruk tentang integritas kepemimpinannya.
Watak kekuasaan yang brengsek ala Jokowi, jika dibiarkan, berpotensi menurun secara genetik maupun politis kepada Gibran.
Apa yang ditunjukkan Gibran dalam kiprah politiknya belakangan ini justru merefleksikan gaya brutal politics yang diwariskan sang ayah.
Karena itu, kekhawatiran publik terhadap Gibran bukanlah tanpa alasan.
Sosok muda ini bukanlah representasi pembaruan politik, melainkan perpanjangan tangan Jokowi untuk tetap berkuasa di balik layar.
Apalagi dugaan skenario bahwa Gibran akan didorong menuju kursi RI 1 pasca dua tahun masa jabatan Prabowo kian menguat.
Maka, upaya mencegah Gibran menjadi Presiden harus dimulai sejak dini.
Gerakan-gerakan obstruksi politik terhadap dirinya sudah mulai tampak digelorakan sejumlah tokoh aktivis.
Namun, gerakan ini tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang anarkis.
Harus elegan, tertib, dan normatif, berlandaskan semangat persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana dicita-citakan para pendiri negeri.
Dengan demikian, penolakan terhadap Gibran harus dilandasi fakta hukum, data empiris, serta bukti penyalahgunaan kekuasaan.
Perjuangan politik untuk menghalanginya mesti ditempuh dengan regulasi dan mekanisme demokrasi yang benar.
Hanya dengan cara itulah bangsa ini dapat terhindar dari jebakan dinasti politik yang menyalahi konstitusi serta merusak tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial, dan membawa rakyat pada kesejahteraan.
Gibran, Hukum, Etika, dan Dinamika Pemakzulan: Antara Prinsip Konstitusi dan Realpolitik!
1. Latar Belakang: Kontroversi MK dan Konflik Kepentingan
Kontroversi kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bermula dari Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi dirinya maju di Pilpres meski belum berusia 40 tahun.
Putusan ini sarat masalah karena Ketua MK kala itu, Anwar Usman, merupakan paman dari Gibran.
Majelis Kehormatan MK (MKMK) kemudian menjatuhkan Putusan No. 2/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat.
Hal ini menunjukkan adanya cacat etik sekaligus cacat konstitusional dalam proses hukum yang melahirkan putusan tersebut.
Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib independen, sementara konflik kepentingan yang nyata membuat putusan itu seharusnya batal demi hukum.
Bahkan, UU No. 28 Tahun 1999 menegaskan bahwa nepotisme dapat berujung pada ancaman pidana hingga 12 tahun penjara bagi penyelenggara negara yang terbukti melakukannya.
2. Surat Usulan Pemakzulan Gibran
Pada pertengahan 2025, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengajukan surat resmi kepada DPR, MPR, dan DPD RI berisi usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran.
Mereka mendasarkan argumen pada cacat etik dan cacat hukum proses pencalonan Gibran, serta menilai bahwa pelanggaran ini menodai integritas konstitusi dan moralitas kepemimpinan nasional.
Forum tersebut menegaskan bahwa langkah mereka bukan sekadar provokasi politik, melainkan upaya menjaga marwah hukum dan menegakkan prinsip konstitusional.
3. Respon DPR dan MPR
Surat pemakzulan telah diterima secara resmi oleh DPR dan MPR.
Namun, DPR yang awalnya dijadwalkan membacakan surat itu dalam Rapat Paripurna, kemudian membatalkannya.
Pimpinan DPR menyatakan surat tersebut masih dalam proses kajian dan pemeriksaan administrasi.
Sementara itu, MPR juga mengonfirmasi telah menerima surat usulan pemakzulan tersebut dan saat ini tengah menunggu telaah dari Sekretariat Jenderal sebelum dibawa ke pembahasan pimpinan.
Secara prosedural, Pasal 7B UUD 1945 mengatur bahwa DPR harus meminta Mahkamah Konstitusi menilai terlebih dahulu apakah Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat.
Jika MK memutus terbukti, DPR kemudian membawa hasil tersebut ke MPR untuk diputuskan dalam sidang paripurna.
4. Esensi Perdebatan: Prinsip Hukum vs Realitas Politik
Kelompok pengusul menekankan bahwa meski Prabowo Subianto tetap sah sebagai presiden, posisi Gibran berbeda.
Menurut teori mala in se, keikutsertaan Gibran dalam kontestasi politik melalui jalur cacat hukum dan moralitas merupakan tindakan yang tidak bisa ditoleransi.
Putusan MKMK yang autentik sudah cukup untuk menjadi dasar bahwa Gibran seharusnya dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.
Tugas besar kini berada di tangan DPR dan MPR: apakah mereka berani menegakkan rule of law dan konstitusi, atau membiarkan politik dinasti dan kepentingan sesaat kembali mengorbankan marwah hukum di negeri ini.
5. Penutup
Kasus ini akan menjadi ujian besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Jika DPR dan MPR gagal menindaklanjuti surat pemakzulan secara konstitusional, maka sejarah akan mencatat bahwa hukum kembali dikalahkan oleh kompromi politik.
Namun, bila langkah konstitusional ditempuh dengan tegas, inilah momentum untuk meneguhkan bahwa hukum dan moralitas tetap berdiri di atas segala kepentingan kekuasaan. ***
Artikel Terkait
Gen Z Diingatkan Demo 17+8 Harus Damai Seperti 212 Bukan Rusuh Nepal
Rahayu Saraswati Keponakan Prabowo Mundur dari DPR
Alat Perekam Getaran Gempa di Gunung Kelud Rp 1,5 Miliar Dicuri, Malingnya Gak Ngotak!
Viral Bule Emosi Setiap Lewat Rumah Ferdy Sambo Selama 5 Tahun