Baku Tembak TNI vs IDF di Gaza: Analisis Dampak dan Krisis Diplomasi Indonesia

- Sabtu, 01 November 2025 | 23:50 WIB
Baku Tembak TNI vs IDF di Gaza: Analisis Dampak dan Krisis Diplomasi Indonesia

Di tengah eskalasi ini, pernyataan Panglima TNI untuk "tidak ragu-ragu" dan "gunakan hard power" harus dipahami dalam kerangka mempertahankan deterrence credibility dan moral pasukan di lapangan, meskipun secara diplomatik pernyataan bernada konfrontatif seperti itu berisiko mempersulit manuver politik luar negeri Indonesia di fora internasional seperti PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia.

Merancang Jalan Keluar

Solusi dan langkah aksi untuk meredakan krisis ini harus dijalankan secara simultan pada tiga level: taktis, operasional, dan strategis. Pada level taktis di lapangan, pembukaan saluran komunikasi deconfliction yang langsung dan berkelanjutan antara Komando Kontingen TNI dan Komando Regional IDF, meskipun sangat sulit dalam suasana permusuhan, merupakan sebuah keharusan mutlak untuk mencegah salah paham yang dapat memicu baku tembak kedua.

Pada level operasional, PBB harus segera merevisi dan mempertegas ROE untuk semua kontingen perdamaian di Gaza, dengan penjelasan yang eksplisit dan terperinci mengenai hak dan kewajiban ketika berhadapan dengan pasukan negara yang dianggap melakukan pelanggaran IHL, sehingga memberikan legal backing yang lebih kokoh bagi tindakan pasukan di masa depan.

Sementara pada level strategis, Pemerintah Indonesia harus memimpin inisiatif diplomatik yang agresif, antara lain dengan meminta diadakannya emergency session Dewan Keamanan PBB untuk membahas pelanggaran netralitas pasukan perdamaian dan mendorong diterbitkannya resolusi yang mengecam tindakan Israel serta menjamin perlindungan bagi pasukan TNI. Secara paralel, diplomasi jalur kedua melalui organisasi seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB) harus dioptimalkan untuk membangun koalisi tekanan politik internasional yang luas, sambil tetap berpegang pada prinsip ASEAN Centrality yang menekankan penyelesaian sengketa secara damai, meskipun prinsip ini dihadapkan pada ujian berat ketika salah satu anggotanya secara langsung terancam.

Jembatan Prinsip Kemanusiaan dan Kepentingan Keamanan Nasional

Implementasi dari serangkaian aksi tersebut menghadapi kendala geopolitik yang sangat signifikan, terutama menyangkut posisi Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Hal ini membuat probabilitas terbitnya resolusi PBB yang bersifat mengecam secara tegas dan mengikat menjadi sangat rendah, sehingga opsi terbaik bagi Indonesia mungkin terletak pada upaya membentuk coalition of the willing di luar struktur formal DK PBB, didukung oleh negara-negara seperti Mesir, Qatar, dan Norwegia yang memiliki pengaruh dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Secara domestik, Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan strategic review menyeluruh terhadap partisipasinya dalam misi perdamaian di zona konflik high-intensity, dengan mempertimbangkan faktor proteksi kekuatan, kecukupan alutsista pendukung, dan kejelasan mandat politik yang dapat diterima semua pihak. Krisis ini juga menjadi momentum untuk mempercepat modernisasi sistem Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance (C4ISR) TNI, agar memiliki ketahanan dan kemandirian yang lebih besar terhadap gangguan elektronik dan siber dari pihak lawan.

Langkah-langkah ini, meskipun tidak serta merta menyelesaikan konflik inti Israel-Palestina, setidaknya dapat menciptakan firebreak yang mencegah eskalasi insiden TNI-IDF ini berubah menjadi sebuah konflik terbuka berskala besar yang akan melibati lebih banyak aktor regional dan internasional, dengan konsekuensi yang tidak terprediksi bagi stabilitas global.

Belajar dari Gaza untuk Grand Strategy Indonesia di Masa Depan

Penutup dari analisis ini menyimpulkan bahwa insiden tembak-menembak antara TNI dan IDF di Gaza merupakan sebuah preseden berbahaya yang mengaburkan batas tradisional antara pasukan perdamaian dan kombatan dalam konflik modern. Krisis ini telah menempatkan Indonesia pada sebuah persimpangan strategis, di mana komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan pembelaan terhadap warga sipil harus dipertimbangkan secara hati-hati dengan risiko keamanan nasional yang nyata dan stabilitas kawasan.

Keteguhan prajurit TNI di garis depan, yang berpedoman pada prinsip "menegakkan kemanusiaan adalah garis yang tidak bisa ditawar," patut diapresiasi, namun harus diikuti dengan dukungan diplomasi yang cerdas dan infrastruktur militer yang tangguh di tingkat global. Pelajaran terpenting dari peristiwa ini adalah bahwa model misi perdamaian PBB harus beradaptasi dengan realitas konflik kontemporer di mana pasukan perdamaian tidak lagi dianggap imun oleh semua pihak, dan bahwa negara penyumbang pasukan seperti Indonesia harus memiliki strategi exit plan dan escalation management yang jelas.

Keberlanjutan partisipasi Indonesia dalam misi semacam ini akan sangat bergantung pada kemampuan bangsa ini untuk merefleksikan peristiwa ini, memperkuat kapasitasnya, dan terus memperjuangkan tatanan internasional yang berdasarkan hukum, bukan kekuatan semata. Bendera Merah Putih yang masih berkibar di Gaza adalah simbol dari komitmen itu, tetapi kelangsungannya memerlukan lebih dari sekadar tekad, yaitu sebuah grand strategy yang komprehensif dan visioner.

Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia–Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.

Halaman:

Komentar