Polemik Revisi UU TNI Meruncing: 'Antara Profesionalisme Militer dan Supremasi Sipil'
Pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang menyebut kelompok penentang penempatan prajurit aktif di jabatan sipil sebagai “kampungan” memicu reaksi luas.
Pro-kontra terhadap revisi Undang-Undang (UU) TNI terus bergulir, menyoroti prinsip fundamental pemisahan antara ranah sipil dan militer dalam sistem demokrasi.
Sejumlah pihak menilai bahwa usulan dalam revisi UU TNI bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut prinsip dasar negara hukum.
Kritik utama datang dari kelompok akademisi, pegiat demokrasi, dan organisasi masyarakat sipil yang menegaskan bahwa keberadaan militer dalam jabatan sipil berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme TNI.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil, kecuali pada posisi tertentu seperti di Kementerian Pertahanan dan lembaga yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara.
Ketentuan ini bertujuan menjaga netralitas dan profesionalisme militer, agar tidak terseret ke dalam dinamika politik dan birokrasi sipil.
Demokrasi dan Ancaman Militerisasi Birokrasi
Di berbagai negara demokrasi, supremasi sipil atas militer adalah prinsip yang tidak dapat ditawar.
Artikel Terkait
Gadis 16 Tahun di Blora Diduga Jadi Korban Salah Sasaran Polisi: Kronologi Lengkap & Dugaan Pelanggaran Prosedur
Kebakaran Terra Drone 2025: Kaitan Maut dengan Pemetaan Sawit Ilegal dan Bencana Sumatera
Visa Kartu Emas AS 2024: Biaya 1 Juta Dolar, Syarat, dan Kontroversi Imigrasi Berbayar
Kecelakaan Mobil MBG di SDN Kalibaru: BGN Tanggung Biaya Perawatan 21 Korban