Temuan itu sudah disampaikan ketika bertemu dengan pihak BGN agar dapat diantisipasi. Kata Setyo, Kepala BGN Dadan Hindayana menerima secara baik info tersebut. Ia juga mengingatkan, jangan sampai nanti sudah terlalu banyak dan semakin membesar serta terjadi di mana-mana, malah akhirnya menjadi sesuatu yang kontraproduktif.
Setyo juga berbicara soal celah korupsi di program MBG. KPK mencermati ada indikasi permainan dalam penunjukkan SPPG alias dapur MBG.
Di sini, ada yang mendapat perlakuan khusus dalam penentuan SPPG atau pihak-pihak yang menjadi dapur MBG, termasuk pembangunan fisiknya dan bahan bakunya. Lokasi yang tidak sesuai itu bisa merusak kondisi makanan saat diberikan kepada para siswa. Pemerintah pun didesak menindaklanjuti temuan ini.
“Ini tentu jadi perhatian untuk bisa ditertibkan,” tegas Setyo.
Memunculkan Kerentanan Sistemik yang Berbahaya
Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri mempertanyakan dominasi produk Mayora dan produsen besar dalam MBG terkait konsistensi pemerintah dalam memberdayakan UMKM.
Selama ini, retorika politik kerap menempatkan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional, tetapi dalam implementasinya, sektor ini sering kali tersisih oleh korporasi besar yang memiliki akses lebih kuat terhadap sistem pengadaan pemerintah.
Praktik semacam ini tidak hanya menciptakan ketimpangan dalam distribusi ekonomi, tetapi juga menghambat peluang usaha kecil untuk berkembang.
Ketergantungan terhadap satu korporasi besar menimbulkan risiko monopoli dalam rantai pasok pangan nasional. Jika terjadi gangguan produksi atau manipulasi harga, tidak ada mekanisme mitigasi yang cukup kuat untuk menjaga stabilitas pasokan.
“Alih-alih memastikan efisiensi, kebijakan ini justru menimbulkan kerentanan sistemik yang berbahaya dalam jangka panjang,” kata Freesca di Jakarta, Jumat (14/3/2025).
Adapun masalah pemotongan anggaran MBG dari Rp10.000 menjadi Rp8.000 mencerminkan kebijakan yang kontradiktif terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan kualitas kesehatan masyarakat.
Di satu sisi, negara menargetkan perbaikan gizi, namun di sisi lain, pengurangan anggaran ini membatasi akses masyarakat miskin terhadap makanan berkualitas, sehingga mereka terdorong untuk mengonsumsi produk murah dengan nilai gizi rendah.
“Langkah ini tidak hanya merugikan kelompok rentan, tetapi juga memperburuk ketimpangan gizi yang telah menjadi permasalahan struktural di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, implikasi jangka panjang dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Data Bappenas 2023 menunjukkan kekurangan gizi di masa kanak-kanak berkontribusi pada penurunan IQ sebesar 10-15 poin, yang berdampak pada produktivitas tenaga kerja di masa depan. Pemangkasan anggaran MBG bukan hanya ancaman bagi kesehatan, tetapi juga bagi daya saing ekonomi nasional.
Jika kualitas gizi tidak diperhatikan, Indonesia akan menghadapi generasi dengan kapasitas intelektual dan fisik yang lebih rendah, menghambat kemajuan SDM dalam jangka panjang.
Sementara, indikasi adanya ketidakterbukaan dalam proses penunjukan SPPG menyoroti permasalahan struktural dalam tata kelola kebijakan publik.
Transparansi bukan sekadar aspek administratif, tetapi fondasi utama dalam memastikan efektivitas program.
Ketika mekanisme seleksi dilakukan secara tertutup, risiko nepotisme dan korupsi meningkat secara eksponensial, berimplikasi langsung pada menurunnya kualitas layanan dan inefisiensi penggunaan anggaran negara.
Program pemenuhan gizi seharusnya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, bukan menjadi arena bagi kelompok tertentu untuk mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi.
***
Sumber: Inilah
Artikel Terkait
Prabowo Instruksikan Pembatasan Game Online Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, Ini Alasannya
Kisah Tragis Ratu Sekar Kedaton: Diasingkan ke Manado Hingga Akhir Hayat
Sabrina Jodohkan Deddy Corbuzier dengan Riyuka Bunga, Respons Deddy Bikin Heboh
Kronologi Mengerikan! Hansip Atim Suhara Tewas Ditembak Maling Saat Patroli, Pelaku Kabur ke Lampung