Oligarki dan Manipulasi Konstitusi Hancurkan Reformasi

- Selasa, 20 Mei 2025 | 15:50 WIB
Oligarki dan Manipulasi Konstitusi Hancurkan Reformasi


Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang melambangkan perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme Orde Baru. Ia lahir dari rahim penderitaan, tumpahan darah mahasiswa, jeritan kaum miskin kota, dan perjuangan tanpa pamrih dari elemen prodemokrasi yang menuntut tegaknya keadilan, keterbukaan, dan demokrasi sejati. Namun kini, setelah lebih dari seperempat abad berlalu, cita-cita reformasi itu perlahan-lahan dibunuh di ruang-ruang kekuasaan oleh tangan-tangan oligarki yang mengendalikan negara dari balik layar.

Reformasi menjanjikan Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Tetapi kenyataannya, KKN justru semakin membudaya. Jika pada era Orde Baru KKN menjadi monopoli elite militer dan kroni Soeharto, maka di era sekarang, wajah-wajah baru bermunculan: pengusaha-politisi, anak dan kerabat penguasa, serta pejabat birokrasi yang dikendalikan jaringan modal besar. Mereka beroperasi tidak hanya di sektor ekonomi, tetapi juga di ruang legislatif, yudikatif, dan eksekutif — menciptakan apa yang disebut sebagai state capture, yakni negara yang dikuasai oleh kepentingan pribadi segelintir elite.

Salah satu puncak dari kehancuran reformasi terjadi ketika konstitusi — yang seharusnya menjadi pelindung demokrasi dan keadilan — dimanipulasi demi kepentingan politik kekuasaan. Sebuah contoh nyata dan terang-benderang adalah kasus Gibran Rakabuming Raka, putra mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara mendadak dan kontroversial mengubah syarat usia calon presiden/wakil presiden — dari minimal 40 tahun menjadi boleh di bawah itu asal sudah pernah menjabat kepala daerah — bukan sekadar polemik hukum. Ini adalah tindakan manipulatif terhadap konstitusi, yang secara substansial mencederai semangat reformasi dan prinsip meritokrasi.

Yang lebih menyakitkan, putusan tersebut dijatuhkan oleh lembaga yudisial tertinggi yang seharusnya menjadi penjaga terakhir konstitusi. Tidak bisa diabaikan pula fakta bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman dari Gibran. Meskipun kemudian diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK karena melanggar etika berat, keputusan itu tetap tidak dibatalkan. Manipulasi ini telah sah membuka pintu bagi praktik nepotisme konstitusional.

Fenomena politik dinasti, seperti yang terlihat dalam kasus Gibran, bukanlah kasus tunggal. Ini adalah bagian dari pola yang lebih besar: oligarki negara (state oligarchy). Dalam pola ini, kekuasaan dijalankan oleh jaringan keluarga, kroni politik, dan korporasi besar yang bekerja sama saling menguntungkan. Mereka tidak hanya menyusup ke dalam partai-partai politik, tetapi juga membajak institusi negara, termasuk lembaga hukum dan pengawas demokrasi.

Apa yang terjadi dalam kasus Gibran adalah precedent berbahaya. Jika konstitusi bisa ditundukkan demi satu orang, maka tidak ada jaminan bahwa di masa depan hukum tidak akan diubah untuk melayani kepentingan pribadi lain — siapa pun yang dekat dengan kekuasaan. Dalam sistem seperti ini, rakyat kehilangan suara. Pemilu kehilangan makna. Demokrasi hanya menjadi kosmetik, sementara keputusan penting ditentukan di ruang-ruang tertutup antara elite politik dan pemilik modal.

Kondisi saat ini menunjukkan adanya pembusukan dalam sistem demokrasi Indonesia. Reformasi yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini terancam menjadi monumen kosong. Rakyat semakin dijauhkan dari pengambilan keputusan. Kebijakan publik tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat, tetapi lebih sering mencerminkan kepentingan oligarki.

Lalu bagaimana kita bisa melawan?

Pertama, rakyat harus sadar dan tidak apatis. Kesadaran politik adalah langkah awal untuk membangun gerakan perubahan. Kedua, kekuatan masyarakat sipil — mahasiswa, buruh, petani, LSM, dan tokoh-tokoh prodemokrasi — harus kembali bersatu, seperti pada 1998. Ketiga, sistem hukum dan kelembagaan demokrasi harus direformasi ulang, dengan penegasan prinsip checks and balances dan pembersihan terhadap praktik konflik kepentingan.

Terakhir dan paling penting: kita harus kembali pada semangat awal reformasi — menjunjung tinggi keadilan, menolak KKN, dan menjadikan rakyat sebagai pemilik sah republik ini. Jika tidak, maka Indonesia akan benar-benar jatuh ke dalam jurang neo-Orde Baru, yang lebih halus secara tampilan, namun lebih berbahaya dalam praktik.

Sebagai mantan tahanan politik Orde Baru, saya melihat tanda-tanda kemunduran yang mengerikan. Apa yang dulu kami lawan — kekuasaan yang otoriter, korup, dan menindas — kini mulai bangkit dengan wajah baru. Dan ironisnya, kebangkitan itu justru terjadi di era yang mengaku sebagai anak kandung reformasi.

Reformasi tidak boleh mati. Konstitusi bukan milik keluarga penguasa. Republik ini bukan warisan pribadi. Kita harus lawan — dengan pena, suara, dan aksi.

Jika tidak, maka generasi mendatang akan mewarisi negara yang tak lagi demokratis, dan kita semua akan tercatat dalam sejarah sebagai generasi yang gagal menjaga amanat reformasi.

Oleh: Beathor Suryadi
Mantan Tahanan Politik Era Soeharto, Aktivis ProDem
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar