Jika Den Haag Punya Tribunal 1965, Mengapa KM-50 Dibiarkan Tanpa Pengadilan?

- Kamis, 03 Juli 2025 | 07:25 WIB
Jika Den Haag Punya Tribunal 1965, Mengapa KM-50 Dibiarkan Tanpa Pengadilan?


Jika Den Haag Punya Tribunal 1965, Mengapa 'KM-50' Dibiarkan Tanpa Pengadilan?


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam sejarah panjang pencarian keadilan, terkadang hukum negara tunduk pada kuasa politik dan kekuasaan. 


Namun, di antara reruntuhan harapan terhadap keadilan formal, suara-suara alternatif bermunculan—menawarkan jalan lain, jalan sunyi, namun tetap bermartabat: pengadilan rakyat.


Pada tahun 2015, Todung Mulya Lubis, seorang advokat senior Indonesia, memimpin barisan pencari kebenaran dalam forum International People’s Tribunal 1965 di Den Haag, Belanda


Pengadilan ini bukan milik negara mana pun, tidak punya wewenang yuridis mengikat, namun memiliki kekuatan moral yang luar biasa. 


Dengan memeriksa bukti-bukti pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca 1965, tribunal itu menjadi ruang kesaksian, catatan sejarah, sekaligus gugatan atas keengganan negara mengusut kejahatan terhadap kemanusiaan.


Apa yang dilakukan Todung dan timnya di sana bukan hanya tentang membuka luka lama, tetapi juga menegaskan bahwa ketika negara gagal menjalankan keadilan, rakyat punya hak dan cara untuk menuntutnya.


Kini, semangat itu menemukan urgensinya kembali dalam kasus KM 50—insiden tragis penembakan enam laskar FPI oleh aparat kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek pada Desember 2020. Empat dari enam korban diduga dieksekusi secara extrajudicial. 


Fakta-fakta dalam persidangan formal justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan dibanding jawaban. 


Dua polisi yang sempat menjadi terdakwa akhirnya dibebaskan, sementara negara secara sistematis menutup rapat tabir siapa sebenarnya yang bertanggung jawab.


Keadilan menjadi fatamorgana. Pemerintah absen, aparat menutup diri, dan hukum seperti dikurung dalam kepentingan kekuasaan.


Jika negara tidak bersedia mengadili dirinya sendiri, maka rakyat harus mengambil kembali hak itu. 


Sebagaimana yang terjadi di Den Haag, pengadilan rakyat bisa menjadi wahana perlawanan terhadap impunitas. 


Bukan sebagai pengganti pengadilan formal, melainkan sebagai suara nurani publik yang terluka.


Tribunal untuk kasus KM 50 bukan sekadar simbol protes. 


Ia dapat menjadi ruang kesaksian keluarga korban, tempat para ahli forensik independen membeberkan temuan mereka, dan tempat publik internasional mendengar bahwa di sebuah negeri demokrasi, enam nyawa warga negara melayang tanpa pertanggungjawaban.


Todung Mulya Lubis menunjukkan bahwa hukum tidak boleh dikooptasi oleh negara. 


Keadilan bisa—dan harus—diperjuangkan dari luar sistem jika sistem itu sendiri membusuk. 


Maka, dalam semangat itu, membentuk Tribunal Rakyat untuk KM 50 adalah panggilan sejarah.


Sebab bila negara gagal mengadili pelaku, rakyat berhak mengadili negara. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar