Di Balik Panggung Sandiwara Politik Pencitraan

- Kamis, 06 Juni 2024 | 03:00 WIB
Di Balik Panggung Sandiwara Politik Pencitraan

Di dunia maya ia terlihat alim, bijaksana, someah, dermawan, humoris dll. Tapi praktik di lapangan, semua itu hanya kamuflase belaka. Tak ubah seperti artis sinetron atau film. Ia hanya berakting saat kamera menyorotnya, setelah itu berubah kembali ke wujud aslinya.


Penulis pun memberi tanggapan atas temuan kasus itu, bahwa dunia politik itu seperti itu. Itu  bagian dari penerapan politik pencitraan.


Apa yang dipertontonkan jauh dari fakta sesungguhnya. Apakah itu sah dan halal? Menurut para politikus hal itu dibenarkan. Sebab dalam dunia politik itu, tak ada yang halal dan haram. Tak ada etika atau pelanggaran. Yang ada itu menang dan kalah.


Mau melakukan cara yang bertentangan dengan ajaran agama atau melanggat konstitusi pun, halal. Itulah gilanya zaman sekarang. Kondisi zaman yang sudah serba edan, maka pengikutnya pun ikut edan. Norma dan etika apapun sudah tak digubris. Jika sudah begini, maka biarkan saja, nanti pun kehancuran akan tiba.


Bertolt Brecht (10 Februari 1898-14 Agustus 1956). Ia adalah seorang penyair dan penulis naskah drama yang berasal dari Jerman. Ia mengatakan, pentingnya bagi kita untuk memisahkan antara penonton dan tokoh dalam sebuah drama.


Ia berpendapat, bahwa dalam drama itu harus membuat penonton tetap kritis dan tidak terlalu terlibat secara emosional, dengan tokoh-tokoh pada cerita tersebut. Cara seperti ini, penonton diharapkan mampu menganalisis dan memahami isu-isu yang diangkat dalam drama tersebut.


Berkaitan dengan konteks politik pencitraan, pemilih harus memainkan peran serupa. Pencitraan dalam pilkada bukan hanya sekadar sandiwara politik, namun harus menjadi arena, di mana pemilih harus terlibat aktif dan kritis dalam menilai para kandidat.


Pemilih harus mampu melihat di balik tirai sandiwara ini, dengan memilih kandidat yang memiliki komitmen tulus dalam membawa perubahan  bagi daerah. Guna menghindari manipulasi juga, kita pemilih atau penonton harus lebih kritis dan skeptis. Jangan mudah percaya, jika belum betul betul kita menyaksikanya secara langsung.


Karena kita harus sadar, di panggung politik pencitraan itu, tak ubah permainan yang penuh dengan ilusi. Melalui kesadaran dan kritisisme, rakyat, kita harus mampu melihat lebih dalam, di balik topeng pencitraan.


Rakyat harus melihat secara utuh, secara lahir maupun batin, calon pemimpinnya. Jangan hanya pandai berakting di panggung politik, namun faktanya tak memiliki integritas dan kapasitas untuk membangun daerahnya.


Maka rakyat harus menjadi pilar utama dalam menciptakan iklim politik yang sehat, di mana transpansi dan kejujuran menjadi landasan utama dalam setiap pemilihan.


Melalui langkah itu, politik pencitraan dapat kita ubah dari sandiwara politik, menjadi proses yang benar-benar nyata, di mana rakyat bisa memilihnya dengan fakta.


Tidak seperti membeli kucing di dalam karung. Semoga kita tidak tertipu oleh bergam tipu daya maupu modus para calon pemimpin. Tapi kita benar benar memilih pemimpin yang tulus dan berkomitmen melayani dan mensejahterakan rakyatnya. Semoga.


*(Penulis adalah Penggerak Kader Nahdlatul Ulama (PKPNU) Majalengka Jawa Barat)

SEBELUMNYA

Halaman:

Komentar