PARADAPOS.COM -Satu unit motor gede atau moge milik Bupati Buol Risharyudi Triwibowo disita tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyitaan dilakukan karena moge diduga terkait perkara pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
"Penyitaan dari saudara RYT (Risharyudi Triwibowo)," kata Jurubicara KPK Budi Prasetyo kepada media, Rabu, 23 Juli 2025.
Penyitaan dilakukan pada Senin dua hari lalu. Moge sudah dibawa ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Rampasan (Rupbasan) KPK di Cawang, Jakarta Timur.
Sebelum terpilih menjadi bupati Buol, Risharyudi Triwibowo adalah staf khusus (Stafsus) Menaker di era menteri Ida Fauziyah. Nah, moge yang disita dimiliki Risharyudi saat bekerja sebagai stafsus menteri.
Terkait kasus pemerasan dan atau penerimaan gratifikasi dalam pengurusan TKA di Kemnaker, KPK telah melakukan penahanan terhadap empat dari delapan tersangka. Mereka adalah Suhartono selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker tahun 2020-2023, Haryanto selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker tahun 2019-2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker tahun 2024-2025.
Selanjutnya, Wisnu Pramono selaku Direktur PPTKA Kemnaker tahun 2017-2019, dan Devi Angraeni selaku Direktur PPTKA Kemnaker tahun 2024-2025.
Sedangkan empat tersangka lainnya yang belum ditahan yakni Gatot Widiartono selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Direktorat Jenderal (Ditjen) Binapenta dan PKK tahun 2019-2021 yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPTKA tahun 2019-2024 serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA tahun 2021-2025, serta tiga orang staf pada Direktorat PPTKA tahun 2019-2024, yakni Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Hingga saat ini para pihak termasuk para tersangka telah mengembalikan uang ke negara melalui rekening penampungan KPK total Rp8,51 miliar.
Selain itu, tim penyidik juga telah melakukan penggeledahan di beberapa tempat di Jabodetabek yang merupakan kantor Kemnaker, rumah para tersangka, rumah pihak terkait, dan kantor para agen pengurusan TKA.
Tim penyidik sudah melakukan penyitaan terhadap 13 unit kendaraan dari hasil penggeledahan di beberapa rumah para tersangka, yang terdiri dari 11 unit mobil dan dua unit sepeda motor.
Selain itu, penyidik juga melakukan penyitaan benda tidak bergerak berupa tanah maupun bangunan dari para tersangka yang tersebar di sejumlah lokasi.
Rinciannya, dari tersangka Wisnu berupa 4 bidang tanah dan bangunan dengan total luas 2.694 meter persegi yang berada di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dari tersangka Haryanto berupa dua bidang tanah beserta bangunan seluas 227 meter persegi dan dua bidang tanah dengan luas 182 meter persegi yang berlokasi di Kota Depok, Jawa Barat.
Selanjutnya, dari tersangka Devi berupa sebidang tanah seluas 802 meter persegi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dan sebidang tanah dan bangunan seluas 72 meter persegi di Kota Depok, Jawa Barat. Dari tersangka Gatot berupa dua bidang tanah dan bangunan yang berlokasi di Kota Jakarta Selatan seluas 188 meter persegi.
Kemudian dari tersangka Putri berupa dua bidang tanah seluas 244 meter persegi yang berlokasi di Kota Bekasi, Jawa Barat, dan 3 bidang tanah beserta bangunan dengan luas 172 meter persegi di Kota Jakarta Selatan. Serta dari tersangka Jamal berupa 9 bidang tanah dengan total luas mencapai 20.114 meter persegi yang berlokasi di Karanganyar, Jawa Tengah.
Dari pemerasan yang dilakukan di periode 2019-2024, KPK telah mengidentifikasi bahwa oknum-oknum di Kemnaker menerima uang sebesar Rp53,7 miliar dari para agen-agen perusahaan pengurusan TKA yang akan bekerja di Indonesia. Namun, perkara pemerasan ini sudah berlangsung sejak 2012-2024 di era Muhaimin Iskandar alias Cak Imin hingga era Ida Fauziyah.
Di mana, Haryanto yang saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional menerima uang paling besar, yakni sebesar Rp18 miliar.
Sedangkan tersangka lainnya, yakni Suhartono menerima uang Rp460 juta, Wisnu menerima uang Rp580 juta, Devi menerima uang Rp2,3 miliar, Gatot menerima uang Rp6,3 miliar, Putri menerima uang Rp13,9 miliar, Jamal menerima uang Rp1,1 miliar, dan Alfa menerima uang Rp1,8 miliar.
Sedangkan sisanya, digunakan untuk dibagikan kepada para pegawai di Direktorat PPTKA sebagai uang dua mingguan. Para pihak tersebut menggunakan uang itu untuk kepentingan sendiri, dan untuk membeli sejumlah aset yang dibeli atas nama sendiri maupun atas nama keluarga.
Uang tersebut juga diberikan kepada hampir seluruh pegawai Direktorat PPTKA kurang lebih 85 orang sekurang-kurangnya sebesar Rp8,94 miliar.
Dalam proses pengajuan RPTKA akan diterbitkan dua dokumen, yaitu Hasil Penilaian Kelayakan (HPK) dan Pengesahan RPTKA. Pengajuan kedua dokumen tersebut dilakukan secara online oleh pemohon yakni perusahaan/agen yang terdaftar di Kemnaker dan diberikan kewenangan untuk mengurus RPTKA. Atas permohonan tersebut dilakukan verifikasi secara berjenjang pada Ditjen Binapenta dan PKK.
Dalam proses penerbitan pengesahan RPTKA, pihak-pihak di Kemnaker melalui pegawai di Direktorat PPTKA diduga melakukan pemerasan kepada pemohon agar dokumen RPTKA disetujui dan diterbitkan.
Dalam proses permohonan RPTKA secara online oleh pemohon, tersangka Putri, Alfa, dan Jamal hanya memberitahukan kekurangan berkas melalui WhatsApp kepada pihak pemohon yang sudah pernah menyerahkan sejumlah uang pada pengajuan sebelumnya, atau pemohon yang menjanjikan akan menyerahkan uang setelah RPTKA selesai diterbitkan. Sedangkan bagi pemohon yang tidak memberikan uang, tidak diberitahu kekurangan berkasnya, tidak diproses, atau diulur-ulur waktu penyelesaiannya.
Sehingga, pemohon yang tidak diproses mendatangi kantor Kemnaker dan bertemu dengan petugas. Pada pertemuan tersebut, tersangka Putri, Alfa, dan Jamal menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pengesahan RPTKA, dan meminta sejumlah uang. Setelah diperoleh kesepakatan, maka pihak Kemnaker menyerahkan nomor rekening tertentu untuk menampung uang dari pemohon.
Dalam proses pengajuan RPTKA juga terdapat tahapan wawancara terkait identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan, melalui Skype dengan jadwal yang ditentukan secara manual. Tersangka Putri, Alfa, dan Jamal tidak memberikan jadwal Skype pada pemohon yang tidak memberikan uang dalam pengurusan RPTKA.
RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKA untuk memenuhi persyaratan-persyaratan lain terkait izin kerja dan izin tinggal. Apabila RPTKA tidak diterbitkan, maka penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat. Hal itu menyebabkan pengeluaran denda kepada TKA selama RPTKA belum terbit, yaitu sebesar Rp1 juta per hari. Sehingga para pemohon RPTKA terpaksa memberikan sejumlah uang kepada para tersangka supaya tidak terkena denda
Sumber: Tribunnews
Artikel Terkait
Rismon Makin Berani! Laporkan Rektor UGM Ova Emilia Atas Dugaan Skripsi Palsu Jokowi
Kawasan Pagar Laut Diduga Mulai Direklamasi & Proses Hukum Redup: Prabowo Didesak Copot Menteri KKP
Ijazah SMA dan S1 Jokowi Disita Penyidik Polda Metro Jaya
Abraham Samad Siap Melawan Jika Ditetapkan Tersangka dalam Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi