Nasib pengemudi ojek online semakin terhimpit di tengah pendapatan tiris, hati meringis.
Realita di lapangan, hidup ternyata tidak sesederhana itu.
Pengamat transportasi umum, Djoko Setijowarno, mengungkapkan bahwa sebagian besar pengemudi ojol bukan berasal dari kalangan pengangguran seperti yang selama ini diasumsikan.
"Ada anggapan pemerintah yang keliru selama ini, bahwa bisnis transportasi daring telah membuka lapangan pekerjaan baru. Nyatanya, hasil survey Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan tahun 2019, menyebutkan pekerjaan sebelum menjadi pengemudi ojek daring tanpa pekerjaan (pengangguran) 18 persen," ujar Djoko dalam keteranganya, Minggu 18 Mei 2025.
"Tahun 2022, kembali dilakukan survey Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, hasilnya tanpa pekerjaan (pengangguran) 16,09 persen," lanjutnya.
Survei terbaru yang dilakukan Kementerian Perhubungan pasca pemberlakuan tarif baru pada 11 September 2022 memperlihatkan perubahan perilaku baik dari sisi pengguna maupun mitra pengemudi.
Responden berasal dari wilayah Jabodetabek, dengan total partisipan mencapai lebih dari 4.600 orang.
Tarif Baru dan Dampaknya
Sebagian besar pengguna jasa ojol menyatakan tarif baru tergolong wajar (52,32 persen).
Namun, reaksi terhadap biaya jasa (tarif) terbaru memilih tetap menggunakan sebanyak 49,76 persen dan beralih atau mengurangi frekuensi penggunaan 50,24 persen.
Bagi mitra pengemudi, tarif baru membawa tantangan tersendiri. Pendapatan harian yang rata-rata berada pada kisaran Rp 50 ribu – Rp 100 ribu nyaris setara dengan biaya operasional harian.
"Pengeluaran pengemudi lebih besar daripada penghasilannya," ungkapnya.
Djoko juga menyebut bahwa bisnis transportasi daring sebenarnya tergolong gagal.
"Transportasi daring bisnis gagal, drivernya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar," jelasnya.
Padahal, para pengemudi bekerja 8–12 jam sehari tanpa jaminan pendapatan yang stabil.
"Pendapatan ojek daring rata-rata masih sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji para aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan," papar Djoko.
Selain pendapatan, aspek regulasi juga belum sepenuhnya berpihak pada pengemudi ojol.
"Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas," tegas Djoko terhadap ketidakjelasan status hukum para pengemudi.
Ia juga menyoroti perlunya menjadikan sepeda motor ojol sebagai angkutan umum secara resmi agar pengemudi mendapatkan perlindungan hukum dan sosial yang layak.
"Kota Agats (Kab. Asmat) sejak 2011 sudah menerapkan ojek sebagai angkutan umum dan kendaraan pelat kuning. Kab. Asmat sudah memiliki Perda dan Perbup yang dapat mengatur ojek sebagai angkutan umum," ujarnya.
Untuk melindungi pengemudi dari dominasi aplikator swasta, Djoko mengusulkan agar pemerintah turut serta dalam sistem transportasi daring.
"Jika pemerintah ingin melindungi warganya, dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan. Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi," pungkasnya.
Sumber: disway
Foto: Nasib driver Ojol semakin miris dan terhimpit-dok disway-
Artikel Terkait
Menanti Ketegasan Presiden: Beranikah Prabowo Melawan Budi Arie?
Reuni Tanpa Ijazah, Klaim Tanpa Ingatan
Sentil Dedi Mulyadi, Dokter Gamal: Rp 6 M untuk Anak Nakal, Ratusan Ribu yang Tak Sekolah Terabaikan?
Kader PSI Dian Sandi Pengunggah Ijazah Jokowi Diperiksa Polisi