Sri Mulyani Kritik SDM Indonesia Rendah, Pendidikan dan Budaya Kerja Jadi Biangkerok?

- Selasa, 20 Mei 2025 | 13:05 WIB
Sri Mulyani Kritik SDM Indonesia Rendah, Pendidikan dan Budaya Kerja Jadi Biangkerok?




PARADAPOS.COM - Pernyataan Menteri Keuangan (Menkkeu) Sri Mulyani tentang lemahnya daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia di industri global bukan sekadar kritik kosong.


Konsultan karir sekaligus pengamat pendidikan Ina Liem menilai bahwa pernyataan Sri Mulyani memang menunjukan persoalan mendasar.


Ia mengemukakan bahwa pendidikan Indonesia belum sungguh-sungguh mempersiapkan generasi yang siap bersaing di dunia internasional.


Meskipun saat ini sudah ada orang Indonesia yang berkarir di luar negeri, menurut Ina, jumlahnya masih kalah dari negara-negara tetangga. 


Ia kemudian mengidentifikasi bahwa kondisi itu berkaitan dengan kualitas pendidikan dalam negeri.


"Hubungan dengan pendidikan ya pasti. Karena pendidikan itu mengarahkan, menyiapkan SDM unggul. Unggul itu zaman sekarang sudah global, jadi nggak bisa hanya bersaing secara lokal," kata Ina dihubungi Selasa 20 Mei 2025.


Lantaran itu, ia menilai wajar apabila daya saing sumber daya manusia Indonesia di kancah internasional tidak menonjol.


"Jadi kalau dibandingkan dengan dunia internasional, menurut saya sih kita memang lemah di masalah teknis, tapi juga masalah soft skills," ujarnya.


Kemudian, Ina menyoroti dua aspek utama yang membuat SDM Indonesia kalah bersaing, yakni kompetensi teknis dan kemampuan soft skills.


Secara teknis, menurutnya, SDM Indonesia dinilai masih tertinggal dalam penguasaan teknologi.


Selain itu juga tertinggal dalam jurusan pendidikan, terutama di bidang sains.


Sementara negara-negara lain di dunia sudah berbicara tentang isu-isu besar seperti Sustainable Development Goals (SDGs).


Ironinya, Indonesia hingga kini belum memiliki program S1 Sustainability Studies, yang baru tersedia justru di jenjang S2.


Hal lain yang juga ditekankan oleh Ina juga terkait dengan profesionalisme kerja yang sebenarnya turut disorot secara global.


"Yang pertama profesionalisme, wah ini kita masih lemah. Budaya kerja kita itu masih belum berbasis output ya. Sama-sama kerja 8 jam itu dianggap sudah kerja keras, padahal dalam waktu yang sama 8 jam, mungkin orang India bisa melakukan hal yang lebih dibandingkan kita," tuturnya.


Lebih jauh, menurut Ina, persoalan mengenai masalah integritas juga disebut sebagai hambatan besar.


Ina menilai masih banyak toleransi terhadap pelanggaran etika di tempat kerja, yang pada akhirnya memengaruhi kepercayaan dunia internasional terhadap tenaga kerja Indonesia.


“Masalah trust itu penting. Jangan bicara soal kerja di luar negeri dulu deh. Untuk dipercaya saja masih susah kalau etikanya belum kuat,” ujarnya.


Menutup pandangannya, Ina Liem menekankan bahwa membangun SDM unggul bukan perkara individu semata, melainkan butuh reformasi sistem pendidikan dan budaya kerja secara lintas lembaga pemerintah juga masyarakat.


Sebelumnya diberitakan, Sri Mulyani mengungkapkan keprihatinannya atas minimnya representasi SDM Indonesia di panggung kerja internasional, khususnya dalam institusi keuangan Islam global.


Pernyataan itu disampaikan dalam acara Sarasehan Ekonom Islam Indonesia 'Refleksi Peran IAEI dalam Pembangunan Ekonomi Nasional 'yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Kamis 15 Mei 2025.


Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani memberikan contoh konkret, yaitu minimnya warga negara Indonesia yang menduduki posisi penting di Islamic Development Bank (IsDB), sebuah lembaga keuangan Islam internasional terkemuka.


Padahal, Indonesia merupakan salah satu pemegang saham terbesar di IsDB, menduduki posisi ketiga tertinggi.


"SDM-nya tidak ada satupun Vice President dari Islamic Development Bank dari Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia tidak ada di dalam senior management professional," ujar Sri Mulyani.


Sri Mulyani menekankan bahwa permasalahan ini bukan sekadar soal kurangnya kesempatan, tetapi lebih kepada kualitas SDM Indonesia yang belum mampu bersaing secara global.


Ia juga menyoroti beberapa faktor krusial yang menjadi penghambat, antara lain kompetensi teknis yang belum memadai, kemampuan berbahasa Arab yang minim, dan jaringan (networking) internasional yang lemah.


"Banyak tantangan kita dan ini harus menjadi PR bagi kita apakah kompetensi, apakah kemampuan berbahasa Arab, apakah kemampuan networking," tuturnya.


Sumber: Suara

Komentar