Dedi Mulyadi & Joko Widodo: Tipikal Pemimpin Yang Harus Dihindari!

- Jumat, 11 Juli 2025 | 18:00 WIB
Dedi Mulyadi & Joko Widodo: Tipikal Pemimpin Yang Harus Dihindari!


'Dedi Mulyadi & Joko Widodo': Tipikal Pemimpin Yang Harus Dihindari!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam riuh rendah bangsa yang selalu punya stok “pemimpin siap jadi”, tiba-tiba muncul satu nama lagi: Dedi Mulyadi


Seorang mantan bupati yang gaya kampanye dan kesehariannya sangat “ngabumi”, duduk di saung, makan nasi liwet, sesekali bercerita tentang kabuyutan, sambil memunguti sampah di jalanan. 


Menarik, tentu. Tapi mendadak nama ini digadang-gadang jadi presiden. 


Lho, kenapa jadi presiden? Karena mirip Jokowi, katanya.


Nah, ini yang perlu kita bedah pelan-pelan, seperti membedah pisang goreng yang kulitnya gosong tapi dalamnya mentah.


Sejak kapan republik ini menjadikan “kemiripan” sebagai syarat menjadi kepala negara? Sejak kapan kesederhanaan yang dimanufaktur jadi bahan bakar untuk naik ke singgasana istana? Jokowi dulu naik karena dianggap “pribumi”, sederhana, tidak neko-neko. 


Tak seperti elite politik pada umumnya. Lalu apa yang terjadi? Setelah dua periode, ia justru menjadi pabrik elite baru. 


Membesarkan anak dan menantu, mengawinkan kekuasaan dan kekerabatan, menyulap meritokrasi jadi monarki gaya baru. 


Maka, kalau hari ini ada Dedi yang katanya “mirip Jokowi”, rakyat patut gelisah.


Dedi dan Jokowi sama-sama suka blusukan. Sama-sama suka bicara soal rakyat kecil. 


Sama-sama dielu-elukan sebagai “rakyat biasa” yang jadi luar biasa. Tapi jangan lupa: kita butuh pemimpin, bukan influencer.


Mari kita bandingkan. Bung Karno, misalnya. Orator yang menggetarkan jiwa bangsa. Gagasan besarnya tentang marhaenisme masih relevan hingga hari ini. 


Dia punya konsep. Pak Harto, meski penuh kontroversi, setidaknya membangun fondasi ekonomi. 


Ada tol, ada swasembada, ada stabilitas (walau dikawal senjata). 


Habibie? Ah, Profesor satu ini bukan hanya teknokrat, tapi juga negarawan. 


Dia meletakkan dasar demokrasi pasca-reformasi, dan punya otak brilian yang bisa menjelaskan aerodinamika dan demokrasi dalam satu tarikan napas.


Lalu Jokowi? Dikenang karena membangun jalan tol dan… ya, jalan tol lagi. 


Dikenang karena memindahkan ibu kota ke hutan dan menjadikan politik sebagai urusan keluarga. Tidak ada pidato monumental. 


Tidak ada gagasan besar. Yang ada hanyalah narasi sederhana yang memabukkan: kerja, kerja, kerja. Tapi kerja untuk siapa?


Nah, bila kemudian ada Dedi Mulyadi yang dianggap “Jokowi jilid dua”, rakyat harus mawas. 


Kita sedang tidak kekurangan pemimpin yang bisa senyum sambil makan tahu sumedang


Kita kekurangan pemimpin yang bisa membawa bangsa ini keluar dari jebakan oligarki dan kemiskinan struktural.


Apakah Dedi punya ide besar untuk membenahi pendidikan, membenahi hukum, membenahi moral birokrasi? Atau hanya akan jadi replika Jokowi: ramai di YouTube, sepi di perencanaan?


Bangsa ini terlalu besar untuk diurus oleh presiden yang hanya jadi panutan gaya hidup. 


Kita butuh pemimpin yang berpikir lima puluh tahun ke depan, bukan sekadar viral di lima menit ke depan.


Maka, jika benar Dedi akan dipasangkan dengan citra Jokowi, sudah saatnya kita ucapkan: cukup. Jangan lagi. 


Satu Jokowi sudah terlalu banyak. Jangan sampai Indonesia jatuh ke lubang yang sama dua kali — apalagi dengan lubang yang sama persis bentuknya.


Indonesia harus menghindari tipikal presiden seperti Jokowi.


Selesai.


Sumber: FusilatNews

Komentar