Arti Lain Memang Ijazah Aslinya Tidak Ada

- Kamis, 22 Mei 2025 | 14:25 WIB
Arti Lain Memang Ijazah Aslinya Tidak Ada


'Arti Lain Memang Ijazah Aslinya Tidak Ada'


Oleh: Ali Syarief

Jurnalis, CEO & Founder Cross Culture Institute




Ketika Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro dari Bareskrim Polri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa ijazah milik Joko Widodo “identik dan otentik”, publik barangkali bisa bernapas lega. Tapi hanya sejenak. 


Sebab, seperti lazimnya dalam setiap pernyataan resmi negara yang datang terlambat dan cenderung defensif, pertanyaan yang lebih penting justru muncul kemudian: mengapa ijazah itu baru muncul sekarang? 


Dan mengapa baru sekarang pula dilakukan uji laboratorium forensik?


Keterangan bahwa map penyimpanan ijazah Jokowi “masih sama persis dengan rekan-rekannya dan kondisinya kumal” terdengar seperti adegan dari film dokumenter zaman Orde Baru. Kumal justru menjadi bukti? 


Di saat digitalisasi dokumen marak dan fotokopi legalisir bukan barang baru, kita masih disuguhkan pembuktian fisik semacam itu—kumal, sama-sama kuning, dan kertasnya identik. 


Seolah-olah sejarah bisa dibuktikan dari tekstur map, bukan dari jejak kehadiran dalam sistem akademik yang bisa diverifikasi publik.


Pernyataan “uji banding dilakukan terhadap ijazah asli milik Bapak Jokowi” juga menyisakan tanya yang tak kalah mengganggu: jika sejak awal ijazah itu “asli”, lalu mengapa sebelumnya tidak pernah ditampilkan secara terbuka dan gamblang dalam banyak polemik yang berkembang selama hampir satu dekade? 


Di era keterbukaan informasi, absennya kejelasan justru memantik dugaan. 


Dan ketika keaslian harus dibuktikan dengan menyandingkannya dengan tiga ijazah teman seangkatan, publik malah semakin ragu: kenapa perlu dibuktikan dengan cara itu?


Penyelidikan yang dilakukan oleh Bareskrim seolah ingin menutup bab. 


Namun publik tahu, upaya penutupan bab sering kali justru membuka jilid baru. Klarifikasi dari pihak Universitas Gadjah Mada memang sudah didapat. 


Tapi sejarah pencatatan akademik bukan hanya soal tanda tangan dekan dan tinta stempel. 


Ia soal proses, transparansi, dan konsistensi narasi sejak awal.


Isu ijazah ini bukan semata soal dokumen akademik, tapi menyentuh esensi kepercayaan publik terhadap pemimpin nasional. 


Dan di sinilah ironi itu muncul: semakin keras negara menyatakan sesuatu itu asli, semakin kuat pula keyakinan sebagian masyarakat bahwa ada yang sedang ditutupi.


Sebagian pihak mungkin akan menuding keraguan ini sebagai upaya menjatuhkan presiden. 


Tapi kita lupa, kredibilitas tidak dibangun dengan klarifikasi belakangan, apalagi dengan gaya investigasi yang mengedepankan pamer “kemiripan” fisik dokumen, alih-alih transparansi riwayat akademik sejak masa kampus hingga detik seseorang dilantik menjadi presiden.


Saya pernah menulis bahwa “kebenaran tidak lahir dari keheningan, tetapi dari keberanian membuka fakta.” 


Maka jika hari ini Bareskrim menyatakan ijazah itu asli, mungkin memang benar ijazah itu “ada”. 


Tapi barangkali, arti lainnya: memang, selama ini ijazah aslinya tidak pernah benar-benar diperlihatkan. 


Dan yang absen bukan kertas itu sendiri, tapi rasa percaya yang sudah telanjur kumal. ***

Komentar