Kasih Yang Tak Putus: 'Persaudaraan Prabowo-Mega, Pengucilan Jokowi, dan Cermin Strategi Indonesia'
Oleh: Christovita Wiloto
Di tengah sorak-sorai rakyat menyambut Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, ada kisah yang senyap, nyaris tak terdengar.
Sebuah kisah yang tak muncul dalam baliho-baliho raksasa, tak termaktub dalam naskah pidato pelantikan, dan tak terucap dalam debat-debat politik di televisi.
Kisah ini lebih dalam dari sekadar aliansi politik. Ia bersumber dari sesuatu yang lebih purba—kasih.
Kasih itu bernama Megawati Soekarnoputri.
Hubungan Prabowo dan Megawati bukanlah hubungan transaksional. Ia bukan aliansi pragmatis yang dibentuk demi ambisi politik sesaat. Ini adalah hubungan spiritual.
Seperti hubungan kakak dan adik yang tidak lahir dari rahim yang sama, tapi dari darah ideologi yang sama pekatnya: Soekarno.
Prabowo bukan sekadar soekarnois. Ia adalah manifestasi dari jiwa Bung Karno.
Lebih dari sekadar pengagum atau peniru, ia adalah pewaris sikap hidup sang proklamator: memilih jalan derita demi bangsa.
Seperti Bung Karno yang rela dipenjara, Prabowo pun memilih pengasingan, diasingkan secara fisik dan politik. Tapi dari lorong gelap itu, ada satu tangan yang tak melepaskannya—Megawati.
Tahun 2012. Saya, Christophya Wiloto, berjumpa dengan Prabowo dalam kondisi paling rentan.
Ia bukan jenderal flamboyan yang biasa Anda lihat di mimbar. Ia seorang lelaki yang baru pulih dari stroke dan kekalahan pilpres.
Tapi yang lebih menyakitkan dari tubuh yang melemah adalah jiwa yang tertolak. Negeri ini belum siap menerima patriot sepertinya.
Namun, dalam keruntuhan itu, terang kasih muncul. Dan kasih itu datang dari Megawati. Ia tidak meninggalkan sang adik ideologis.
Bahkan jauh sebelumnya, ketika Prabowo harus meninggalkan Indonesia, Megawati-lah yang secara diam-diam menariknya pulang.
Bukan sekadar menarik tubuhnya ke tanah air, tapi menanamkan kembali semangat juangnya.
Tak banyak yang tahu: kepulangan Prabowo bukan semata dorongan pribadi, tetapi karena bisikan seorang kakak yang memahami luka sejarah bangsanya.
Masih di tahun yang sama. Jakarta berdiri di persimpangan sejarah. Prabowo memanggil saya dalam pertemuan empat mata.
Ia bertanya dengan suara lemah tapi mantap: “Saya ingin bantu negeri ini. Tapi harus mulai dari mana?”
Artikel Terkait
Dukung Bareskrim! IPW Soroti Kerugian Negara Rp 1,08 Triliun dari Tambang Emas Ilegal di Lombok
Strategi Partai Perindo Dongkrak 130 Juta Warga Naik Kelas Ekonomi
Hary Tanoe: Partai Perindo Akan Jadi Partai Besar, Ini Kuncinya!
Menteri Agama Nasaruddin Umar: Keikhlasan Kunci Utama dalam Berpolitik