PARADAPOS.COM - Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2015-2021, Ahmad Ishomuddin, mengkritik PBNU, yang dinilainya tidak tegas menyikapi kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
“PBNU tidak berani mengkritisi kerusakan lingkungan di Raja Ampat karena seorang pengurusnya menjabat sebagai komisaris di PT Gag Nikel,” tulis Ishomuddin dalam akun Facebook-nya, Sabtu, 7 Juni 2025.
Ahmad Ishomuddin tidak menyebut nama secara spesifik.
Namun, bila merujuk pada data di laman PT Gag Nikel, memang ada nama seorang petinggi PBNU di jajaran komisaris.
Dia adalah Ketua Tanfidziyah PBNU 2022-2027, Ahmad Fahrur Rozi.
Pria yang akrab disapa Gus Fahrur itu duduk di jajaran komisaris PT Gag bersama mantan Asisten Khusus Wamenhan Brigjen (Purn) Saptono Aji; Hermansyah; dan Lana Saria—yang saat ini tercatat sebagai pejabat eselon di Kementerian ESDM.
Fahrur saat ini juga tercatat sebagai Komisaris BUMD PT Panca Wira Usaha Jawa Timur.
Dia aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Yayasan IAI Al-Qolam Malang.
Kritik Warganet
Salah satu warganet dengan nama Wisnu Darjono mengkritik keberadaan petinggi PBNU dalam perusahaan tambang itu.
“Kalau PBNU diam karena salah satu pengurusnya jadi komisaris di perusahaan tambang, maka yang rusak bukan cuma Raja Ampat—tapi juga moralitas kepemimpinan … kalau NU tak bersuara untuk Raja Ampat, maka jangan heran jika publik akhirnya bertanya: NU berpihak pada bumi atau pada saham tambang?” kata dia, melalui cuitan di akun X-nya, @wdtu, dikutip Ahad, 8 Juni 2025.
Kritik soal aktivitas tambang yang mengundang protes publik ini bahkan juga datang dari salah satu Ketua PBNU lainnya, Savic Ali.
“Indonesia ini udah ditambang di mana-mana tapi kok negaranya gak kaya-kaya jg ya?” tulis Savic, di akun X pribadinya, dikutip Ahad, 8 Juni 2025.
Keterlibatan tokoh PBNU di perusahaan tambang ini memunculkan pertanyaan soal independensi organisasi dalam menyikapi isu lingkungan.
Hingga kini, PBNU belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait isu ini.
Aktivitas Penambangan Nikel Raja Ampat Harus Dihentikan Total
Pada bagian lain, Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik sekaligus pengamat maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan jika aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, harus dihentikan total.
Marcellus menilai, langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat pada 5 Juni 2025, sebagai titik balik dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
“Ini bukan semata-mata keputusan administratif, melainkan juga refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup. Harapan saya, keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total,” ujar Marcellus dalam keterangannya Jumat, 6 Juni 2025.
Marcellus menilai, keputusan Menteri ESDM itu merupakan sinyal bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi.
Apalagi Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar.
“Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” jelas Marcellus.
Ia juga menekankan bahwa UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil, seperti Gag, Kawe, dan Manuran.
Namun, realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum lingkungan.
Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan.
Sedimentasi yang mengalir ke laut juga menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.
“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” katanya.
PT Gag Nikel memang mengeklaim bahwa operasional mereka telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Namun, Marcellus menilai, status perusahaan sebagai BUMN tidak menjadi pembenaran untuk menoleransi pelanggaran prinsip ekologis.
“Justru karena BUMN adalah wajah negara, seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” katanya.
Marcellus mendesak pemerintah untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial.
Sumber: SamudraFakta
Artikel Terkait
Satu Dekade Jokowi: Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Warisan Politik
Ngaku Salah, Panitia Kurban Minta Maaf usai Minta Rp 15.000 ke Warga untuk Tebus Satu Kantong Daging
Bejat! Polisi di NTT Diduga Perkosa Korban Pemerkosaan yang Lapor ke Polsek
HEBOH! Ada Artis Dituding Tularkan HIV ke Cucu Konglomerat, Siapa?