OLEH: KHAIRUL A. EL MALIKY
KETIKA Demokrasi Dibelokkan
Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin kompleks dan gaduh, kita kerap mendengar satu istilah yang bergaung dari ruang-ruang akademik hingga warung kopi: “dinasti politik.” Istilah ini mengacu pada praktik pewarisan kekuasaan politik dalam suatu keluarga atau klan tertentu yang terus-menerus menguasai panggung kekuasaan dari tingkat daerah hingga pusat.
Namun, dalam realitas kontemporer, fenomena ini tidak berdiri sendiri. ia bersenyawa erat dengan apa yang disebut sebagai rente kekuasaan, keuntungan ekonomi dan politik yang diperoleh tanpa mekanisme pasar yang adil atau produktivitas aktual.
Ketika dinasti dan rente berpadu, lahirlah apa yang disebut dinasti rente: sistem yang tidak hanya melanggengkan kekuasaan secara turun-temurun, tetapi juga mempertahankan aliran sumber daya publik ke tangan segelintir elite. Praktik ini bukan saja membahayakan demokrasi, tetapi juga merusak prinsip meritokrasi dan menutup ruang mobilitas sosial bagi rakyat kebanyakan.
Mengurai Makna Dinasti dan Rente Kekuasaan
Dalam kajian ilmu politik, dinasti politik didefinisikan sebagai kecenderungan suatu keluarga untuk menguasai jabatan publik secara terus-menerus melalui anggota keluarga yang berbeda. Fenomena ini menjadi masalah ketika proses politik tidak lagi didasarkan pada kompetensi, integritas, atau kehendak rakyat, melainkan pada koneksi darah dan nama belakang.
Rente kekuasaan (power rent-seeking), di sisi lain, adalah praktik memanfaatkan posisi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok tanpa menambah nilai ekonomi. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, kedua praktik ini tidak hanya hidup berdampingan, tetapi saling memperkuat dan menciptakan siklus patronase yang nyaris tak terputus.
Dinasti rente bukan sekadar bentuk penyimpangan; ia merupakan manifestasi dari penyusupan kepentingan pribadi ke dalam institusi publik. Ini adalah bentuk lain dari korupsi struktural yang tidak melulu soal uang, tetapi juga pengaruh, jaringan, dan kendali atas sumber daya politik dan ekonomi.
Fenomena Dinasti Rente dalam Praktik: Dari Pilkada ke Istana
Tak perlu mencari contoh yang terlalu jauh. Dalam banyak kontestasi politik di Indonesia, terutama pilkada, kita mendapati pola kandidat yang berasal dari keluarga petahana: anak, istri, adik, bahkan menantu kepala daerah. Fenomena ini diperparah oleh lemahnya regulasi yang membatasi praktik semacam ini.
Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan bahwa larangan terhadap dinasti politik bertentangan dengan konstitusi karena dianggap menghambat hak politik warga negara. Padahal, dalam kenyataannya, warga negara yang berasal dari keluarga elite justru memiliki akses yang jauh lebih besar terhadap sumber daya politik.
Belakangan, praktik ini merambah ke level tertinggi kekuasaan. Kontroversi mengenai posisi politik anak presiden, dari kursi Walikota hingga Wakil Presiden, memicu perdebatan luas tentang apakah bangsa ini sedang terseret kembali ke era feodalisme politik yang dibungkus demokrasi prosedural. Ketika lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi dianggap ikut bermain dalam melicinkan jalan bagi pewarisan kekuasaan, yang terjadi bukan sekadar kemunduran, melainkan pembusukan demokrasi dari dalam.
Demokrasi yang Terkurung dalam Jebakan Rente
Demokrasi seharusnya menjadi sistem di mana kekuasaan didistribusikan secara adil melalui mekanisme pemilihan yang bebas dan kompetitif. Namun, ketika kandidat yang muncul berasal dari lingkaran kekuasaan yang sama, dan memiliki akses pada sumber daya negara, maka demokrasi berubah menjadi sirkus legitimasi kekuasaan.
Dalam studi ilmiah, fenomena ini disebut sebagai competitive authoritarianism atau otoritarianisme kompetitif, di mana sistem politik tampak demokratis secara prosedural, tetapi dalam praktiknya dikendalikan oleh elite melalui instrumen kekuasaan formal dan informal. Dinasti rente berperan besar dalam menjadikan sistem ini langgeng, karena ia menciptakan barrier to entry bagi calon pemimpin yang tidak memiliki privilese politik atau modal besar.
Konsekuensinya, ruang partisipasi publik menyempit. Rakyat kehilangan pilihan yang beragam karena calon-calon alternatif tidak mampu bersaing. Demokrasi hanya menjadi ritual lima tahunan, sementara kebijakan publik ditentukan oleh segelintir keluarga dan kroni yang duduk di puncak piramida kekuasaan.
Rente dan Oligarki: Simbiosis yang Merusak
Dalam logika ekonomi-politik, rente hanya mungkin terjadi dalam sistem yang oligarkis. Ketika struktur politik dikuasai oleh segelintir elite, maka kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan mereka. Dalam hal ini, dinasti politik berfungsi sebagai kendaraan untuk mempertahankan dominasi ekonomi.
Oligarki yang dibungkus dalam dinasti rente menciptakan sistem yang sangat resisten terhadap perubahan. Mereka memiliki sumber daya untuk mengontrol partai politik, media, dan lembaga penegak hukum. Dalam situasi ini, pengawasan publik menjadi lemah, dan akuntabilitas tidak pernah menjadi norma. Bahkan, lembaga demokrasi seperti KPU, Bawaslu, hingga Mahkamah Konstitusi, bisa menjadi alat yang digunakan untuk memuluskan jalan kekuasaan mereka.
Sebagaimana disampaikan Jeffrey Winters dalam Oligarchy, oligarki politik adalah fenomena global, tetapi di negara-negara seperti Indonesia, ia menemukan medan subur karena lemahnya institusi, besarnya ketimpangan ekonomi, dan budaya patronase yang kuat. Maka, melanggengkan dinasti rente sama dengan merawat oligarki.
Argumen “Warga Biasa Boleh Berkuasa” yang Menyesatkan
Pendukung dinasti politik kerap menggunakan argumen demokratis untuk membenarkan praktik pewarisan kekuasaan. “Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih,” kata mereka. Namun, argumen ini menjadi cacat jika mengabaikan ketimpangan akses, modal, dan pengaruh.
Misalnya, ketika anak presiden mencalonkan diri, ia bukan sekadar warga biasa. Ia membawa nama besar, dukungan politik struktural, dan fasilitas negara. Maka, kontestasi politik tidak lagi adil. Di sinilah pentingnya memahami demokrasi bukan semata prosedur, tetapi juga substansi: apakah pemilu benar-benar membuka ruang yang setara bagi semua warga negara?
Dalam demokrasi substansial, kesetaraan kesempatan adalah prinsip utama. Namun, ketika satu keluarga menguasai jabatan publik secara beruntun dan bertingkat, sistem tersebut telah kehilangan rohnya.
Peran Partai Politik: Dari Sekolah Demokrasi ke Agen Oligarki
Partai politik seharusnya menjadi kanal utama untuk regenerasi kepemimpinan dan agregasi kepentingan rakyat. Namun, di tengah dinasti rente, partai justru menjadi kendaraan elite. Kandidat diusung bukan berdasarkan visi, integritas, atau kapasitas, melainkan karena kedekatan darah dan besaran mahar politik.
Dalam banyak kasus, partai bahkan tidak punya otonomi ideologis. Mereka tunduk pada keputusan pemilik modal dan petinggi partai yang memiliki hubungan keluarga dengan elite kekuasaan. Fenomena ini terjadi di hampir semua partai besar di Indonesia. Partai menjadi klub eksklusif bagi keluarga elite, sementara rakyat hanya menjadi penonton.
Jika tidak ada reformasi serius dalam tubuh partai politik, maka mustahil berharap demokrasi Indonesia bisa berkembang menjadi lebih substantif. Partai harus kembali ke akar ideologinya, membuka ruang bagi kader-kader muda, dan menolak skema dinasti yang merusak.
Dampak Sosial: Membekukan Mobilitas dan Memupuk Apatisme
Dinasti rente bukan hanya masalah politik; ia juga berdampak langsung pada kehidupan sosial dan ekonomi rakyat. Ketika jabatan publik dikuasai oleh elite yang sama, kebijakan publik cenderung eksklusif dan tidak responsif terhadap kebutuhan akar rumput.
Lebih jauh, sistem ini membekukan mobilitas sosial. Anak petani atau buruh, betapapun cerdasnya, akan sangat sulit menembus arena kekuasaan karena tidak memiliki akses, modal, atau jaringan. Maka, harapan rakyat terhadap perubahan makin tipis, dan apatisme politik tumbuh subur. Rakyat tidak percaya lagi bahwa pemilu bisa membawa perubahan.
Di sinilah bahaya terbesar dinasti rente: ia merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Ketika rakyat tidak lagi percaya, sistem politik kehilangan legitimasi moralnya.
Solusi: Mengembalikan Demokrasi pada Rakyat
Untuk melawan dinasti rente, diperlukan pendekatan multi-level: dari reformasi hukum, penguatan partai, hingga pendidikan politik publik. Beberapa langkah konkret antara lain:
1. Regulasi Ketat terhadap Konflik Kepentingan Keluarga Pejabat
UU Pilkada dan Pemilu harus memasukkan klausul soal batasan pencalonan anggota keluarga pejabat dalam waktu tertentu, terutama di wilayah yang sama.
2. Reformasi Partai Politik
Mekanisme kaderisasi dan demokrasi internal partai harus diperkuat. Keterlibatan publik dalam menentukan calon harus diperluas.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Lembaga negara harus memperkuat sistem transparansi, terutama dalam hal pendanaan kampanye dan rekam jejak calon.
4. Literasi Politik Rakyat
Masyarakat harus terus diberdayakan melalui pendidikan politik agar tidak mudah terjebak dalam politik identitas dan kultus individu.
5. Peran Media dan Civil Society
Media dan organisasi masyarakat sipil harus terus menjadi penjaga demokrasi dengan mengawasi, mengkritik, dan memberikan alternatif narasi yang berkeadaban.
Penutup: Melawan dengan Kesadaran
Dinasti rente adalah bentuk mutakhir dari kekuasaan yang membajak demokrasi demi kepentingan sempit. Ia berpakaian demokratis, tetapi berhati otoriter. Melanggengkannya berarti menyerahkan masa depan republik ini pada kekuasaan yang turun-temurun, bukan pada rakyat.
Indonesia membutuhkan demokrasi yang hidup, partisipatif, dan substantif. Untuk itu, kita harus berani melawan segala bentuk pembusukan kekuasaan, termasuk dinasti rente yang membungkus dirinya dalam jargon demokrasi. Melawan dinasti rente bukan soal benci pada individu atau keluarga tertentu, tetapi soal membela sistem agar tetap adil, setara, dan berpihak pada rakyat.
Demokrasi sejati hanya bisa tumbuh jika rakyat memiliki pilihan yang bebas, informasi yang jernih, dan kesempatan yang setara. Maka, tugas kita hari ini bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi menjaga agar sistem yang kita warisi ini tidak dibajak oleh nama-nama besar yang mengklaim cinta tanah air, namun menukar suara rakyat dengan warisan kekuasaan.
(Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, dan esais)
Artikel Terkait
Heboh Kapal Tongkang JKW dan Iriana Lalu-lalang Angkut Nikel di Raja Ampat, Benarkah Keluarga Solo Ikut Bermain?
Kasus Kakek Teriak Wanita Teroris Berakhir Damai, Ngaku Lagi Laper dan Pusing Bayar Kost
EKSKLUSIF! Said Didu Ungkap Surat Perintah Solo 13 Oktober 2024
Ucapan Mendiang Faisal Basri soal Mantu Jokowi Terlibat Penyelundupan Biji Nikel Kini Terbukti? Rugikan Ratusan Triliun