Tapi neraca itu, kini ditimang-timang oleh tim jaksa. Bukan oleh mufti. Bukan oleh ulama.
Karena saat keadilan dilanggar oleh sesama mereka, suara mereka lebih tipis dari doa fajar.
Genosida di Palestina bukan hanya krisis kemanusiaan. Itu ujian teologis. Tapi para petinggi NU gagal. Mereka memilih diam. Tidak karena tidak tahu, tapi karena tidak untung.
Mereka tahu betul cara menyusun kitab, tapi tak tahu cara menegakkan isinya. Mereka tahu ayat tentang wudhu, tapi lupa bahwa darah yang tertumpah juga najis.
Mereka bicara negara, tapi diam ketika negara digunakan untuk membunuh rakyatnya sendiri di tempat lain.
Kini, ketika rudal Iran melayang ke langit Israel, dunia bicara. Tapi di sini, para ulama diam.
Mereka lebih sibuk menyiapkan Muktamar, bukan menyiapkan keberpihakan.
Mereka lebih gelisah jika kursi direbut sesama, daripada jika tanah Palestina dirampas musuh bersama.
Apakah mereka takut? Atau sudah terbeli? Atau, yang lebih mengerikan, sudah terbiasa hidup dalam kebohongan berjubah suci?
Kita tak tahu pasti. Tapi satu hal jelas, kitab suci yang mereka bacakan tiap hari, kini sedang bersaksi terhadap kemunafikan mereka. Dan untuk itu, bahkan rudal Iran pun tak cukup sebagai pengingat. ***
aa
Artikel Terkait
Fakta Gadai Mobil Pajero untuk Selamatkan Bilqis dari Suku Anak Dalam
Menteri Keuangan Purbaya Ungkap Modus Pencatutan Harga Impor: Barang Rp 45 Juta Dicatat Cuma Rp100 Ribu
Oknum Brimob Aniaya Mantan Pacar di Binjai: Kronologi & Proses Hukum Terbaru
Wamenag Zainut Tauhid Saadi Minta Gus Elham Hentikan Aksi Cium Anak Perempuan yang Viral