Resiliensi atau Retorika? Membedah Narasi Sri Mulyani di Tengah Kinerja Ekonomi Buruk

- Selasa, 06 Mei 2025 | 04:55 WIB
Resiliensi atau Retorika? Membedah Narasi Sri Mulyani di Tengah Kinerja Ekonomi Buruk


Resiliensi atau Retorika? 'Membedah Narasi Sri Mulyani di Tengah Kinerja Ekonomi Buruk'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,87% pada kuartal I-2025 sebagai tanda “resiliensi” di tengah tantangan global, wajar bila publik justru kebingungan. 


Di balik rentetan istilah teknokratik dan narasi optimisme, tersimpan ironi: pertumbuhan di bawah 5% sejatinya adalah sinyal bahwa target-target ambisius pemerintahan Prabowo-Gibran tak tercapai. 


Bahkan, data ini seolah menjadi bel peringatan dini atas krisis yang sedang mengintai.


Pertumbuhan ekonomi yang stagnan bukanlah sekadar angka; ia adalah penentu utama bagi perluasan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan daya beli masyarakat. 


Ketika angka itu tak mencapai ekspektasi—apalagi dalam konteks pemerintahan baru yang menjanjikan “ekonomi berdikari”—maka yang terdampak pertama adalah kesempatan kerja. 


Dan ini bukan sekadar asumsi: PHK massal telah mulai terjadi, bahkan sebelum Prabowo benar-benar menjalankan program-program janjinya secara penuh. 


Dunia usaha, terutama sektor manufaktur dan startup digital, perlahan mulai menurunkan kapasitas produksi dan memangkas tenaga kerja.


Sri Mulyani mungkin benar bahwa ketidakpastian global—perang, suku bunga tinggi, dan pelemahan permintaan dunia—menjadi faktor eksternal yang memengaruhi kinerja perekonomian nasional. Tapi itu bukan jawaban yang utuh. 


Justru di sinilah negara seharusnya hadir dengan strategi mitigasi yang konkret, bukan sekadar optimisme dan jargon koordinasi lintas kementerian. 


Jika daya beli rakyat masih harus ditopang oleh insentif jangka pendek seperti diskon listrik dan tarif tol, bukankah itu tanda bahwa fondasi ekonomi sedang rapuh?


Lebih lanjut, investasi, yang sejatinya menjadi motor penggerak pertumbuhan jangka panjang, hanya tumbuh 2,12%. Sementara konsumsi pemerintah malah terkontraksi. 


Apa artinya? Negara tidak cukup agresif mendorong belanja produktif, dan pelaku usaha masih enggan menanamkan modal karena efek “wait and see” terhadap arah pemerintahan baru. 

Halaman:

Komentar