Satu Dekade Jokowi: 'Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Warisan Politik'
Setelah dua periode menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi menutup dekade kekuasaannya dengan warisan politik yang tak kalah kontroversial dari keberhasilannya membangun jalan tol.
Di satu sisi, ia dikenang sebagai pemimpin yang mengubah wajah infrastruktur Indonesia.
Di sisi lain, muncul banyak pertanyaan tentang konsolidasi kekuasaan, intervensi terhadap lembaga negara, dan strategi pengelolaan elite politik yang meninggalkan jejak dilematis dalam demokrasi kita.
Tulisan ini hendak mengulas lima isu utama yang kerap menjadi bahan perdebatan publik, dengan pendekatan analitis dan bahasa yang tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
1. Strategi Politik dalam Menjinakkan Elite Partai
Jokowi bukan kader partai tulen. Ia bukan Megawati, bukan Prabowo, bukan Surya Paloh.
Namun justru karena bukan siapa-siapa dalam peta kekuasaan lama, ia mengembangkan politik adaptif yang terkesan lembut di permukaan, namun efektif dalam menjinakkan tokoh-tokoh partai besar.
Beberapa analis menyebut pendekatan ini sebagai strategi kooptasi elite, di mana tokoh-tokoh partai dirangkul lewat posisi strategis di kabinet, BUMN, hingga penugasan politik tertentu.
Konsekuensinya, ruang oposisi mengecil, dan koalisi pemerintah tampak seperti orkestra tunggal tanpa disonansi.
Namun efektivitas ini bukan tanpa risiko: pemusatan kekuasaan di tangan presiden melemahkan dinamika sistem checks and balances.
Satu suara dominan menggema, sementara suara-suara kritis semakin terpinggirkan, bahkan dari internal partai sendiri.
2. Pelemahan KPK dan Transformasi Jadi Alat Politik?
Perubahan UU KPK pada 2019 menandai babak baru yang penuh gejolak.
Pembentukan Dewan Pengawas, hilangnya independensi penyadapan, hingga pemecatan pegawai lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi simbol perubahan arah lembaga ini.
Banyak pengamat menyebutnya sebagai "pelemahan sistematis" terhadap KPK.
Kecurigaan pun mencuat: apakah ini bagian dari upaya mengubah KPK dari lembaga independen menjadi instrumen selektif---bukan untuk membasmi korupsi, tetapi untuk mengelola loyalitas politik?
Dalam konteks hukum, ini tentu harus dibuktikan secara objektif. Namun secara politis, publik merasakan getaran perubahan arah.
Penindakan terhadap tokoh-tokoh tertentu seringkali bertepatan dengan dinamika politik---mendorong dugaan bahwa hukum dijalankan dengan rasa, bukan asas.
3. Mahkamah Konstitusi dan Politik Kekerabatan
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2023 terkait usia calon presiden dan wakil presiden menjadi momen penting dalam peta politik Indonesia.
Putusan itu, yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka---putra Presiden Jokowi---untuk maju sebagai calon wakil presiden, memicu perdebatan luas.
Sebagian pihak menyebut ini sebagai bentuk politisasi konstitusi, apalagi dengan keterlibatan Ketua MK saat itu yang memiliki hubungan kekeluargaan langsung dengan presiden.
Walau Mahkamah Kehormatan MK telah memberi sanksi etik, kerusakan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan konstitusional sudah telanjur terjadi.
Kritikus menyebut ini sebagai gejala "constitutional engineering", di mana hukum bukan lagi pelindung konstitusi, tetapi alat untuk mengakomodasi kepentingan dinasti politik.
Artikel Terkait
Dukung Bareskrim! IPW Soroti Kerugian Negara Rp 1,08 Triliun dari Tambang Emas Ilegal di Lombok
Strategi Partai Perindo Dongkrak 130 Juta Warga Naik Kelas Ekonomi
Hary Tanoe: Partai Perindo Akan Jadi Partai Besar, Ini Kuncinya!
Menteri Agama Nasaruddin Umar: Keikhlasan Kunci Utama dalam Berpolitik