4. Toleransi terhadap Korupsi Elite sebagai Kartu Politik?
Salah satu teori lama dalam politik otoritarian adalah menggunakan skandal sebagai kendali.
Dalam konteks demokrasi, tentu tuduhan seperti ini memerlukan pembuktian yang sangat hati-hati.
Namun dinamika politik menunjukkan bahwa beberapa tokoh partai yang tersangkut dugaan atas beberapa kasus korupsi tetap dipertahankan dalam lingkar kekuasaan, atau bahkan "diselamatkanā melalui mekanisme hukum dan politik yang tidak transparan.
Di sisi lain, tokoh yang tak sejalan dengan agenda kekuasaan kerap mengalami ekspos media atau tekanan hukum lebih intensif.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa isu hukum digunakan secara selektif, bukan sebagai wujud supremasi hukum, tetapi sebagai alat tawar-menawar politik.
5. Warisan Kekuasaan dalam Kabinet Presiden Terpilih
Dengan berakhirnya masa jabatan Jokowi, muncul pula pertanyaan besar: apakah ia benar-benar melepaskan kendali, atau justru "menitipkan" kekuasaan dalam tubuh pemerintahan baru?
Isu tentang figur-figur tertentu yang disebut-sebut sebagai "orang Jokowi" dalam kabinet Prabowo mendatang sudah muncul bahkan sebelum pelantikan.
Mereka diyakini akan mengawal kelanjutan proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara, hilirisasi industri, dan program infrastruktur lainnya.
Secara politik, hal ini bisa dimaklumi sebagai strategi legacy protection.
Namun secara demokratis, hal ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah transisi kekuasaan sungguh demokratis, atau hanya rotasi antara wajah lama dalam baju baru?
Penutup: Demokrasi atau Hegemoni?
Dalam satu dekade terakhir, Jokowi membuktikan bahwa kekuasaan tidak selalu harus diwarnai konflik terbuka.
Ia memainkan politik dalam gaya Jawa yang halus namun menancap, diam-diam tapi efektif.
Namun seperti kata Lord Acton:
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."
Pertanyaannya kini bukan sekadar apa yang telah dicapai Jokowi secara fisik dan ekonomi, tapi juga: Apa yang telah berubah dalam cara kita memahami demokrasi?
Apakah kita sedang menuju tata kelola negara yang efisien, atau justru tergelincir ke dalam demokrasi prosedural yang dibungkus dengan konsensus elite?
Waktu yang akan menjawab. Tapi seperti yang dikatakan filsuf politik Carl Schmitt:
"Yang menentukan keadaan darurat adalah yang memegang kekuasaan."
Dan selama satu dekade, kekuasaan itu berada di tangan seorang presiden yang sangat memahami seni mengelola keadaan---baik secara formal maupun informal.
Catatan Akhir:
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi pribadi, melainkan sebagai upaya reflektif atas praktik politik dalam sistem demokrasi modern.
Segala bentuk kritik disampaikan dalam semangat demokrasi yang sehat, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dan kehormatan institusi negara. ***
Artikel Terkait
Dukung Bareskrim! IPW Soroti Kerugian Negara Rp 1,08 Triliun dari Tambang Emas Ilegal di Lombok
Strategi Partai Perindo Dongkrak 130 Juta Warga Naik Kelas Ekonomi
Hary Tanoe: Partai Perindo Akan Jadi Partai Besar, Ini Kuncinya!
Menteri Agama Nasaruddin Umar: Keikhlasan Kunci Utama dalam Berpolitik