Imbasnya, kader mereka satu per satu kehilangan kursi strategis.
Gerindra di sisi lain mengisi ruang kosong itu, memperkuat dominasi di birokrasi sekaligus membuka jalan konsolidasi jangka panjang.
Apa ujung dari tarik-menarik ini? Kemungkinan besar kita akan melihat rekonsiliasi kepentingan.
Prabowo tidak bisa mengandalkan hanya satu pihak.
Menyejahterakan TNI tetap penting sebagai fondasi stabilitas politik, tetapi Polri tetap harus dijaga karena menguasai penegakan hukum sehari-hari.
Gerindra ingin mengamankan basis kekuasaan, sementara PDI-P masih menyimpan modal politik elektoral yang tak bisa dianggap remeh.
Dalam politik Indonesia, kompromi selalu jadi kunci.
Kuasa bukan hanya soal siapa duduk di kursi presiden, tetapi bagaimana kursi itu ditopang oleh institusi militer, aparat hukum, dan kekuatan partai politik.
Prabowo sedang memainkan catur besar, satu langkah salah bisa mengundang krisis baru.
Tapi, langkah kompromi yang tepat bisa memperkuat fondasi pemerintahannya di tahun-tahun awal.
Sumber: HarianHaluan
Artikel Terkait
Pilkada Lewat DPRD: Hanya Akal-Akalan Elite Politik untuk Kekuasaan?
Pengakuan Yusril Ihza Mundur Demi Gus Dur Jadi Presiden 1999: Fakta Sejarah Terungkap
Hashim Djojohadikusumo Bantah Isu Lahan Sawit Prabowo: Klarifikasi Lengkap dan Fakta
Bupati Bekasi Ade Kuswara Ditahan KPK, PDIP Sindir Elite Mencla-Mencle