Bila Datang ke Cikeas Masih Bisa Difahami, Tapi Berbelok ke Solo? Ini Membangun Siasat!

- Minggu, 20 April 2025 | 13:40 WIB
Bila Datang ke Cikeas Masih Bisa Difahami, Tapi Berbelok ke Solo? Ini Membangun Siasat!


Bila Datang ke Cikeas Masih Bisa Difahami, Tapi Berbelok ke Solo? Ini Membangun Siasat!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Bila seorang tokoh muda, pejabat negara, atau perwira tinggi datang ke Cikeas—tempat tinggal Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono—masih bisa kita fahami. 


SBY adalah seorang negarawan, intelektual, doktor ilmu politik dari Amerika, penulis buku, dan mantan panglima TNI yang dikenal punya wawasan luas. 


Maka jika ada yang sowan ke sana, bisa jadi itu pencarian ilmu, referensi kepemimpinan, atau bahkan sekadar menimba pandangan dari seorang elder statesman. Logis. Rasional. Bisa diterima nalar publik.


Tapi jika arah langkah itu berbelok ke Solo, ke rumah Presiden Joko Widodo, di tengah riuhnya isu ijazah palsu dan korupsi kelas dunia yang menyeret nama-nama di lingkar kekuasaan, maka wajar publik bertanya-tanya. 


Ada apa? Untuk apa? Dan yang lebih penting: kenapa sekarang?


Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri di Solo bukan sekadar ajang silaturahmi atau diskusi ringan soal kepemimpinan. 


Apalagi jika dilihat dari konteks sosial-politik hari ini, ketika rakyat masih terguncang oleh berbagai kasus serius yang menyentuh wajah integritas bangsa—dari skandal korupsi proyek internasional, sampai dugaan kecurangan dalam proses akademik yang melibatkan simbol-simbol kekuasaan.


Maka jika Jokowi bicara tentang kepemimpinan masa depan, tentang sinergitas TNI-Polri, bahkan soal kecerdasan buatan dan robotika, itu semua terdengar seperti retorika yang disengaja untuk menutupi narasi yang lebih dalam: legitimasi politik.


Ya, ini tentang legitimasi. Tentang bagaimana seorang presiden yang masa jabatannya hampir usai, namun masih ingin tetap relevan di panggung kekuasaan. 


Maka kehadiran para calon perwira tinggi di rumah pribadinya, bukan di Istana, menjadi simbol bahwa kekuasaan kini tak lagi sekadar lembaga, tapi telah menjelma menjadi pribadi.

Halaman:

Komentar