Bahlil Dapat Bintang Mahaputera: Ketika Fakta Dibalikkan Menjadi Ilusi

- Selasa, 26 Agustus 2025 | 06:10 WIB
Bahlil Dapat Bintang Mahaputera: Ketika Fakta Dibalikkan Menjadi Ilusi

Data konsumsi energi nasional masih sangat bertumpu pada batubara dan energi fosil, sementara program energi bersih jalan tersendat, tak konsisten, bahkan sering dijadikan alat pencitraan untuk menarik investor asing.


Antara Jasa dan Balas Budi


Jika melihat jejak politik Bahlil pada Pilpres 2024, penganugerahan bintang ini lebih menyerupai balas jasa politik ketimbang penghargaan tulus atas jasa nyata. Bahlil adalah tim sukses Prabowo-Gibran. 


Kini, ketika kekuasaan sudah dalam genggaman, ia mendapatkan simbol legitimasi tertinggi seolah-olah menjadi pahlawan ekonomi bangsa. 


Padahal, yang lebih tampak adalah bagaimana tanda kehormatan negara telah direduksi menjadi alat konsolidasi politik penguasa.


Penghinaan terhadap Makna Gelar Kehormatan


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 memang menegaskan bahwa Bintang Mahaputera hanya layak diberikan kepada mereka yang berjasa luar biasa bagi bangsa. 


Pertanyaannya, jasa seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan Bahlil? 


Apakah hilirisasi yang menguntungkan investor asing itu jasa? Apakah investasi yang tak berjejak pada kesejahteraan rakyat itu jasa? Ataukah yang dianggap jasa adalah kesetiaannya dalam memenangkan rezim di kotak suara?


Jika demikian, maka penganugerahan ini bukan hanya menipu publik, tetapi juga melecehkan nilai sejarah tanda kehormatan republik. 


Gelar yang seharusnya melambangkan darma bakti luar biasa kini jatuh menjadi ornamen politik, sekadar medali bagi loyalis yang tahu bagaimana memainkan peran di panggung kekuasaan.


Penutup: Dari Simbol Kehormatan Menjadi Komedi Nasional


Bahlil mendapatkan Bintang Mahaputera Adipurna bukanlah perayaan jasa, melainkan perayaan absurditas. 


Fakta di lapangan menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan narasi resmi. Yang ditulis sebagai “prestasi” sesungguhnya hanyalah ilusi yang dipelihara kekuasaan.


Dan di titik ini, bangsa kita kembali dipertontonkan satu kenyataan pahit: di republik ini, keberhasilan tidak lagi diukur dari karya nyata, melainkan dari kedekatan dengan penguasa.


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar