Kisah Heroik Haji Agus Salim Mencegah Bunuh Diri Tentara Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, seluruh sumber daya alam dan manusia dikerahkan untuk mendukung kemenangan Jepang dalam Perang Dunia II. Dalam situasi ini, Haji Agus Salim, seorang tokoh Sarekat Islam dan diplomat ulung, dipercaya untuk bekerja di markas Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor karena kemahirannya berbahasa Jepang.
Peran Haji Agus Salim di Masa Pendudukan Jepang
Di markas PETA Bogor, Haji Agus Salim bertugas dalam tim penyusun kamus kemiliteran untuk tentara Jepang. Selama masa tugasnya, ia menjalin persahabatan dengan Kapten Yamasaki. Menurut catatan dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1996), para tentara Jepang sangat menghormati Agus Salim.
Momen Bersejarah: Mencegah Harakiri Kapten Yamasaki
Saat Jepang kalah perang, Kapten Yamasaki berencana melakukan harakiri sesuai prinsip Bushido yang dianut para ksatria Jepang. Agus Salim yang memergosinya segera mencegah tindakan tersebut. Dengan menggunakan bahasa isyarat yang diselingi bahasa Indonesia dan Jepang, Agus Salim meyakinkan Yamasaki bahwa bunuh diri bukanlah tindakan pemberani, melainkan sebuah bentuk pengecut. Ia menekankan pentingnya "berani hidup" daripada "berani mati".
Dampak Nasihat Agus Salim pada Hidup Yamasaki
Nasihat Agus Salim akhirnya membujuk Kapten Yamasaki. Alih-alih mengakhiri hidupnya, Yamasaki memutuskan untuk pulang ke Jepang dan kembali menjadi guru. Kesaksian istri Agus Salim, Zainatun Nahar, yang berkunjung ke Jepang pada 1955, mengungkapkan bahwa Yamasaki masih hidup dan saat itu mengelola sekolah keterampilan rumah tangga. Zainatun mencatat bahwa Yamasaki tampaknya tidak menyesali keputusannya untuk tidak bunuh diri.
Profil dan Kontribusi Haji Agus Salim untuk Indonesia
Haji Agus Salim, yang lahir dengan nama Mashudul Haq di Koto Gadang, Agam, pada 8 Oktober 1884, adalah salah satu diplomat terpenting Indonesia. Presiden Sukarno memberinya julukan "The Grand Old Man" karena kepiawaiannya berdiplomasi di forum internasional. Perannya sangat krusial dalam memperoleh pengakuan kedaulatan dari negara-negara Arab serta dalam lobi-lobi Indonesia di PBB selama masa revolusi (1945-1949). Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954, meninggalkan warisan diplomasi yang tak ternilai.
Artikel Terkait
Mengejutkan! Biaya Operasional Ojol Cuma Rp600, Keuntungan Aplikator Tembus Belasan Miliar Per Hari
Uya Kuya Buka Suara Soal Rumah Dijarah: Awalnya dari Video Joget yang Diedit dan Diprovokasi
Erwin Wakil Wali Kota Bandung Diperiksa Kejaksaan, Bukan OTT! Ini Fakta dari Kejagung
3 Jalur Rahasia ke Bandung Barat: Bebas Macet & Lebih Cepat!